Judul diatas, merupakan representasi pandangan subjektif saya terhadap proses graduasi sistem pendidikan nasional Indonesia. Jika pendidikan di zaman kolonial diarahkan untuk membangun dan membebaskan
rakyat Indonesia dari kolonialisme, maka hari ini pendidikan justru telah bergeser menjadi produk bisnis. Hal ini tercermin dari basis sejarah yang dimulai dari kolonialisasi di zaman penjajahan Portugis, Belanda hingga Jepang.
Sistem Pendidikan Dibawah Kolonialisasi
Politik pendidikan di zaman itu, tentu saja berangkat dari kepentingan penguasa. Sejauh mana kebutuhan dan kepentingan penguasa, sejauh itu pula mainset sistem pendidikan yang dipraktekken. Pendidikan direduksi menjadi sebuah alat efektif untuk melanggengkan penjajahan terhadap ribuan bahkan jutaan rakyat Indonesia. Pendidikan di zaman itu, dibuat secara berjenjang. Diskriminasi terjadi secara terbuka. Pendidikan tidak berlaku untuk semua kalangan dan hanya berdasarkan derajat kelas. Pendidikan untuk anak-anak Belanda lebih diutamakan dan dibuat lebih terjamin dan istimewa. Sementara untuk anak-anak pribumi, disamping sangat terbatas, juga memiliki kualitas yang jauh lebih rendah dan seadanya. Jika mengacu pada situasi hubungan patron antara kolonial dan pribumi, maka politik pendidikan Belanda tersebut lebih mengarah kepada tesedianya kemampuan pengetahuan mumpuni untuk memenuhi tenaga kerja murah bagi penguasa kolonial.
Hal tersebut, bukanlah tanpa alasan. Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel ) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan (Sumber : Wikipedia). Demi mendukung misi penyelematan pemerintahan kolonial dari krisis tersebut, maka pola pendidikan terhadap penduduk pribumi juga mulai dilaksanakan, terutama di bidang cocok tanam yang menjadi komoditi ekspor ketika itu. Hal ini demi mendukung system kerja paksa tersebut.
Namun tetap saja hak pendidikan berlaku timpang, dimana hanya penduduk pribumi dari kaum priyayi saja yang diberikan hak pendidikan oleh Belanda. Ini dimaksudkan agar masyarakat yang memang cenderung masih tunduk dan patuh kepada kaum priyayi, dapat dengan mudah dimobilisasi oleh pemerintahan colonial Belanda melalui kaki tangan kaum priyayi tersebut. Bahkan untuk memperlancar program kerja paksa ini, pemerintah colonial memaksakan interaksi bahasa Belanda untuk mempermudah komunikasi. Wajar saja, jika kita menyaksikan bagaimana para pemimpin-pemimpin serta pejuang kemerdekaan Indonesia, cukup cakap dalam menggunakan bahasa Belanda.
Periode Kumunculan Pendidikan Alternatif
Disaat kolonialisasi kian menampakkan wujud aslinya yang kejam, perasaan senasib dari rakyat Indonesia-pun timbul. Perlawanan bergelora dimana-mana, meski pada awalnya hanya dilakukan secara sembunyi dan terbatas pada kalangan kaum terpelajar. Inisiatif untuk membangun dan mencerdaskan generasi muda-pun, mulai dilakukan melalui sekolah-sekolah rakyat. Dengan sarana terbatas dan tenaga pendidik seadanya, proses pendidikan ini berlangsung dengan hanya bermodalkan semangat melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan.
Salah satu tokoh nasional pejuang kemerdekaan yang mendedikasikan dirinya untuk membangun sekolah-sekolah rakyat ini adalah Tan Malaka. Setelah bergabung dalam Syarikat Islam (SI) Semarang, Tan Malaka kemudian menginisiasi pembentukan sekolah rakyat bagi anak-anak anggota SI dan Rakyat kaum kromo atau miskin lainnya. Sekolah ini kemudian dikenal dengan sebutan “SI School”, dengan memiliki 3 (tiga) prinsip dan tujuan utama, yakni : Pertama, Memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb). Kedua, Memberi Haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (verenniging). Dan Ketiga, Menunjukan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo (Sumber : Tan Malaka, dalam “SI Semarang dan Onderwijs”, Semarang, 1921).
Pada intinya, apa yang dilakukan oleh Tan Malaka adalah wujud kecintaannya terhadap Rakyat Indonesia. Tan Malaka bersama kaum muda Indonesia, mengorganisir kursus-kursus politik ditengah ancaman represif kolonial, yang didedikasikan untuk mendidik dan membangun pemikiran kaum muda, khususnya mebangun keahlian pengorganisasian, jurnalistik, memimpin massa, dan tentu saja mendorong semangat perlawanan terhadap penjajahan bangsa asing terhadap kaum pribumi, Indonesia (Sumber : Herdiansyah).
Bagaimanapun, kontribusi keberadaan sekolah-sekolah rakyat dizaman colonial, telah memberikan harapan perjuangan bagi rakyat Indonesia. Hal tersebut patut untuk direduksi oleh gerakan kaum muda hari ini. Ditengah hempasan system pendidikan yang begitu kuat mengabdi kepada pasar, alternative pendidikan bagi rakyat sangatlah dibutuhkan. Kelompok diskusi, study club, sekolah jalanan, dan lain sebagainya adalah pilihan alternative yang harus kita bangun bersama.
Politik Pendidikan Neo-Liberal = Bisnis Nasional
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan menyebutkan, satuan pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi, dimungkinkan adanya kerjasama antara satuan pendidikan dalam negeri dengan satuan pendidikan asing (Sumber : Kompas.com). Dalam hal ini, regulasi tersebut merupakan perpanjangan upaya untuk melegitimasi keberadaan investor dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini merupakan upaya tindak lanjut pemerintah sejak disahkannya UU Sisdiknas, UU BHP hingga lahirnya PP Nomor 17 tahun 2010 ini. Ini semakin menguatkan pandangan kita, bahwa semangat pendidikan nasional hari ini, adalah semangat bisnis. Semangat untuk menjadikan output pendidikan itu sebagai sesuatu yang ibarat komoditas yang siapa diperjualbelikan.
Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan bahwa, "Indonesia meratifikasi kesepakatan organisasi perdagangan dunia yang salah satunya membuka kerja sama di bidang pendidikan. "Tetapi, sejauh ini, pemodal asing yang bisa menyelenggarakan pendidikan di Indonesia masih dibatasi. Yang bisa baru untuk menyelenggarakan pendidikan politeknik," kata Fasli (Sumber : Kompas.com). Namun pada prinsipnya, apa yang dikatakan oleh Fasli Jalal, tidak lebih dari upaya untuk mengelak dari resistensi masyarakat terhadap regulasi Pemerintah yang kian nyata telah menggadaikan pendidikan nasional kita kepada pihak Asing. Toh ini hanya persoalan waktu saja. Cepat atau lambat, sistem pendidikan nasional akan menjadi lading empuk bagi investor, dan tentu saja sebaliknya akan menjadi ratapan kesedihan bagi generasi muda Indonesia.
Stanley Fish, Guru Besar Universitas Internasional Florida, dengan mengutipkan pendapat Henry Giroux dalam “Academic Unfreedom in America” yang dipublikasikan Works and Days, menyatakan bahwa, “Universitas-universitas telah menarasikan dirinya dalam batas yang lebih instrumental, komersil dan praktis. Narasi baru ini muncul setelah negara tak lagi membiayai lembaga pendidikan tinggi milik Negara” (Sumber : Antaranews). Justru sebaliknya, system pendidikan telah dibiarkan lepas begitu saja untuk bertarung secara kompetitif menurut kehendak pasar. Ini berarti, pendidikan kita disemua jenjang dipaksa untuk mengais pendapatan dengan cara apa saja, meski harus menggadai susbtansi pendidikan itu sendiri, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menghadapi situasi ini, universitas-universitas menjawabnya dengan (1) menaikkan biaya pendidikan, sehingga mahasiswa pun kini berubah dari subjek pendidikan menjadi tak lebih dari konsumen ekonomi biasa. (2) membina kemitraan di bidang riset dengan industri, namun ini menghancurkan tujuan mulia pendidikan karena universitas menjadi melulu memburu laba. (3) memperbanyak tenaga kontrak, namun justru ini yang membuat pengajar tidak berkapasitas mendorong mahasiswa untuk mewujudkan demokrasi madani karena mahasiswa hanya dituntut mengejar nilai ekonomi dari pendidikan. Singkatnya, universitas-universitas telah memeluk neoliberalisme (Sumber : Antaranews).
Dari uraian di atas, maka kian jelaslah, bahwa politik pendidikan nasional kita hari ini, merupakan agenda besar Neo-liberalisme di Indonesia. Pendidikan sejatinya akan diarahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar semata, yang berarti tak ubahnya dijadikan asset bisnis bagi Pemerintah yang siap diperjualbelikan. Tujuan pendidikan sesungguhnya telah tercerabut dari filosofi dasarnya sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa dan membangun manusia yang merdeka.
Samarinda, 12 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 komentar:
Artikel menarik
Pendidikan memang semakin payah di republik ini mas.
@Ivan : Bener sob, seperti sektor lainnya, sektor pendidikan kita juga dalam hantaman Neo-Liberalisme. Substansi pendidikan sesungguhnya telah bergeser menjadi ladang bisnis yang diperdagangkan menurut kehendak pasar bebas. Sangat ironi....
saya suka mas artikel artikel yg di sajikan,lanjutkan,,hehe/kpan2 mampir ya mas,,
numpang links gan! http://bangbom.blogspot.com
Wow, begitukah sistem pendidikan indonesia?
gak kepikiran sampe ke sana mas...
nice post...
yang lebih mengherankan, pada waktu kuliah ada yang namanya magang, dimana mahasiswa "nurut" diperas untuk bekerja pada suatu instansi atau perusahaan, "TANPA DIGAJI" tapi malah BAYAR. Aneh..
Tidak hanya kuliahan, SMK, STM pun demikian...
Posting Komentar
Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!