Hukum dalam Dimensi Sejarah Pertentangan Kelas Sosial
Kelas sosial adalah bentuk utuh dari sistem kemasyarakatan, paling tidak hingga hari ini. Tidak ada maksud dan upaya untuk mengelompokkan masyarakat, namun fakta ini adalah kehendak peradaban (civilization in progress) yang tidak bisa kita bantah kebenarannya. Kelas dalam rujukan ilmu pengetahuan sosial, merupakan keniscayaan yang tidak dapat kita tolak. Banyak pakar teori sosial memberikan definisi terhadap kelas tersebut. Max Weber misalnya. Dia memberikan pengertian kelas berdasarkan tingkat penghasilan, sementara Talcot Parson mencoba mendefinisikan kelas berdasarkan golongan fungsionalnya [2] . Namun kedua pandangan tersebut telah menafikan dimensi ekonomi sebagai peletak dasar pembagian kelas dalam masyarakat. Ya, dimensi yang diukur dari pola aktivitas manusia untuk bertahan hidup melalui bekerja berdasarkan kepemilikan alat produksi. Siapa yang memiliki dan menguasai alat produksi, maka ia akan membangun hegemoni terhadap mereka yang tak berpunya.
Disinilah kemudia akar munculnya kelas social dalam masyarakat. Antara budak dengan tuan budak, antara hamba tani dengan tuan tanah, antara pemilik modal dan buruh. Pemikir besar lainnya, Karl Marx berpendapat bahwa kelas dalam masyarakat timbul karena adanya pembagian kerja yang memungkinkan perbedaan kekayaan, kekuasaan dan prestise yang jumlahnya sangat terbatas sehingga sejumlah besar anggota masyarakat bersaing dan bahkan terlibat dalam konflik untuk memilikinya. Anggota masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan, kekayaan atau prestise berusaha memperolehnya, sedangkan anggota masyarakat yang memilikinya berusaha untuk mempertahankannya bahkan memperluasnya. Inilah wujud pertentangan kelas sesungguhnya. Tidak salah jika kemudian Marx menginterpretasikan sejarah umat manusia tersebut dengan ungkapan, "The history of all hitherto existing society is the history of class struggles (Sejarah umat manusia hingga saat ini, adalah sejarah perjuangan kelas)" [3] .
Mungkin bagi sebagian orang, berbicara mengenai pertentangan kelas, masihlah menjadi sesuatu yang asing. Namun tentu saja kita tidak boleh melepaskan lompatan-lompatan perkembangan hukum dari basis sejarah pertentangan kelas. Istilah pertentangan kelas disini merujuk kepada basis infrastruktur masyarakat yang terus mengalami perubahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Sistem hukum setiap fase hubungan kelas dalam masyarakat, tentu saja terus mengalami perubahan. Jika pada zaman oligarkhi absolute (feodalisme), hukum dibangun berdasarkan kepentingan kelas penguasa (raja, sultan, dll) sebagai penguasa tanah (land), maka pada zaman modern saat ini, hukum praktis dikendalikan dan digunakan untuk membentengi kepentingan kelas pemilik modal (borjuis). Jika boleh dianalogikan, istilah “barang siapa yang punya uang, maka ia bisa membeli hukum seenaknya”, adalah anekdot yang muncul akibat pola hubungan pertentangan kelas tersebut. Kekuasan oleh pemilik modal telah menampar esensi hukum sebagai media mengejahwantahkan keadilan ummat manusia.
Hukum Adalah Produk Politik
Dari pemaparan sebelumnya, telah disebutkan bahwa posisi perkembangan hukum, sangat erat kaitannya dengan relasi kelas social. Posisi kelas sangat menentukan keberpihakan hukum. Dengan demikian Hukum merupakan produk politik [2] dari kepentingan kelas yang berkuasa. Ungkapan yang menyebutkan bahwa hukum muncul dan lahir akibat adanya sebuah kebutuhan masyarakat untuk hidup dalam pola yang beraturan, harus kita maknai sebagai kompromi sosial (social consensus). Situasi beraturan ini tidak lebih dari propaganda kelas berkuasa untuk memaksa kelas yang dikuasai agar tunduk dalam bingkai kekuasaannya. Jika kita menilik teori kelas, karakter politik adalah aspek utama dari kelas berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Salah satu upaya untuk membentengi kekuasaannya, tentu saja dengan membuat aturan hukum yang ditujukan agar kelas yang dikuasainya tidak memiliki ruang untuk melancarkan perlawanan.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem politik dengan subsistem hukum, akan tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah [5]. Dengan demikian, tengah terjadi dependent variable, yakni suatu logika ketergantungan dimana hukum menjadi hal yang diharuskan untuk tunduk atas kepentingan politik. Dalam kasus ini, kita patut belajar mengenai subordinasi hukum terhadap system politik dari produk hukum terkait undang-undang Pemilu. Setiap momentum electoral ini akan digelar, selalu didahului oleh perubahan pada substansi isi dan materi undang-undang tersebut. Dimana muatan perubahan disetir sedemikian rupa berdasarkan kepentingan penguasa. Bahkan terkadang digunakan untuk menjegal lawan-lawan politiknya sendiri. Masih segar ingatan kita bagaimana aturan keikutsertaan pemilu bagi partai politik yang dibebankan prasayarat presentase kursi, tiba-tiba perubahan menjadi syarat pemilikan kursi ditingkat nasional. Ini tentu menimbulkan inkonsistensi hukum. Namun sekali lagi, hukum memang telah menjadi anak tiri dari system Negara diabadingkan dengan politik. Dengan kata lain, keberpihakan hukum, akan ditentukan oleh posisi politik dan kekuasaan. Lembaran sejarah kita juga telah memberikan sejarah berharga pada zaman Orde Baru Soeharto, dimana hukum dan aturan hanya diciptakan untuk melanggengkan kekuasaannya, yang pada sisi lain justru semakin mengkerdilkan akses keadilan hukum bagi masyarakat.
Progresifitas Hukum
Hukum pada dasarnya harus kita tempatkan sebagai kerangka proses yang terus mengalami perkembangan (law in the making). Hukum bukanlah dogma yang bersifat final. Hukum tentu saja akan bergerak secara simultan sesuai dengan tuntutan zamannya (continue on progress). Sebagai contoh, kita dapat memetik buah pengalaman sejarah terhadap pemaknaan “perbuatan melawan hukum”. Jika dulu perbuatan melawan hukum hanya dimaknai sebagai tindakan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undanga, maka perkembangan masyarakat menuntut keberadaan landasan pikir baru yang harus mengadopsi perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat. Ini bisa kita lihat dalam “Arrest Hoge Raad”, atau putusan Mahkamah Agung Belanda pada bulan Januari 1919, atau sering juga diistilahkan dengan “Revolusi Bulan Januari”. Putusan tersebut tidak hanya mendefinisikan ulang terhadap makna perbuatan melawan hukum, tapi juga memberikan suatu lompatan besar dalam sejarah perkembangan hukum yang selalu mengalami progressifitas. Mahkamah Agung Belanda pada tanggal 13 Januari 1919 membuat putusan yang mengatakan bahwa, “melawan hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tapi juga bertentangan dengan tata susila dan kepatutan menurut masyarakat” [6] . Ini adalah landasan kuat yang menegaskan bahwa hukum harus mengalami proses adaptasi sesuai dengan zamannya masing-masing. Inilah salah satu makna dasar dari hukum progresif. Hukum bukanlah sebagai sebuah system yang stagnan dan status quois, namun mengikuti jejak perkembangan sejarah sesuai dengan tuntunan perubahan social masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa, “suatu karekteristik penting dari hukum progresif adalah wataknya yang menolak keadaan status-quois, apabila keadaan tersebut menuimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat. Watak tersebut membawa hukum progresif kepada perlawanan dan pemberontakan yang akhirnya berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum” [7] .
Jika dalam konsepsi hukum progeressif, ditekankan pentingnya meninjau kembali posisi sistem hukum nasional kita, tentu tidaklah terasa cukup untuk membangun akses keadilan secara utuh kepada masyarakat. Hukum memang harus kita sepakati sebagai sesuatu yang harus berubah, baik dalam teks maupun konteks penerapannya. Akan tetapi tuntutan perubahan ini harus disertai dengan pola hukum yang memihak kepada kepentingan kelas social mayoritas dalam masyarakat. Mayoritas bukan dalam makna kuantitas ras, suku dan keagamaan, namun mayoritas dalam makna kelas social sebagaimana penjelasan dibagian awal sebelumnya.
Membaca Hukum Dengan Makna, Bukan Dengan Teks
Pengalaman praktek hukum di Indonesia, memang telah membuka cakrawala berpikir kita. Hukum dalam bingkai apparatus Negara (kejaksaan, pengadilan, kepolisian), boleh dikatakan terlampau hanya menempatkan hukum hanya sekedar sebagai sebuah aturan belaka. Hal tersebut tentu saja menimbulkan kekakuan dalam menjalankan logika hukum (logic of law). Lihat saja kasus Nenek Minah yang disangkakan melakukan tindak pidana pencurian atas 3 biji semangka. Secara substansi hukum, tidak ada yang salah dengan tindakan dan proses hukum yang dijalaninya. Namun secara sosial, justru hal ini menyerang titik nadi rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan masyarakat tergerogoti ketika seorang Nenek Minah dimeja hijaukan, jusru ketika para koruptor perampok uang rakyat tidak pernah sedikitpun tersentuh (untouchable) oleh hukum.
Selama ini, hukum di Negara kita telah mengunci pemaknaan aturan hanya sebatas aturan (rules by rules), bukan sebagai aturan untuk keadilan (rules for justice), sehingga makna dibalik setiap teks undang-undang (baik unifikasi maupun kodifikasi), tidak mampu diterjemahkan dengan baik. Sehingga setiap putusan hukum, praktis hanya bersandar kepada aturan undang-undang, bukan pada pemaknaan hukum sebagai media untuk menghantarkan keadilan masyarakat. Kita harus memahami bahwa hukum ada untuk manusia, bukan untuk dirinya sendiri. Sehingga cara pandang dalam menerapkan aturan hukum juga harus kita maknai sebagai cara untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum tidaklah bersifat final (status quois) sebagaimana yang tertuang dalam kitab undang-undang, akan tetapi hukum akan terus berkembang dan mencari kesempurnaan (law in the making). Begitu pula dengan sifatnya, hukum bukanlah benda mati yang hanya terdiri dari rangkaian teks undang-undang. Hukum tidak boleh disamakan dengan sebuah teknologi yang tidak memiliki hati nurani. Sebab hukum memiliki makna untuk membebaskan ummat manusia dari ketidakadilan, bukan membebaskan manusia dari sekumpulan aturan undang-undang. Maka dari itu, sepatutnyalah kita membaca hokum bukan hanya sekedar teks yang tertuang, namun makna dibalik teks tersebut. Hukum harus diposisikan sebagai alat untuk mencari keadilan yang memihak kepada kepentingan kelas mayoritas, kelas dalam masyarakat yang memiliki kepentingan bersama (common interest) diatas segalanya, dan melepaskan diri dari tendensi kekuasaan yang hanya memihak segelintir orang.
Samarinda, 28 Maret 2010
Catatan Kaki :
[1] Sajtipto Rahardjo, 2009 “Pendidikan hukum sebagai pendidikan manusi (kaitannya dengan profesi hukum dan pembangunan hukum nasional)”. Yogyakarta : Genta Publishing, Hal : 59.
[2] Doug Lourimer dalam artikel “Kelas dan Perjuangan Kelas”.
[3] Karl Marx and Frederick Engels, Manifesto Communist 1848, dalam Marx and Engels selected work vol 1, Moscow, Foreign Languages Publishing House,1962, hal 34.
[4] Politik merupakan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara (Sumber : http://id.wikipedia.org/wi
[5] Satjipto Rahardjo, 1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Sinar Baru, Hal : 71.
[6] Sajipto Rahardjo, 2009, “Hukum Progresif, sebuah sintesa hukum Indonesia”. Yogyakarta : Genta Publishing, Hal : 61.
[7] Ibid, Hal : 18.
1 komentar:
Produk hukum seharusnya dikeluarkan oleh status mayoritas sosial masyarakat yang masih miskin.Sehingga nantinya hukum berpihak pada masyarakat kelas miskin untuk bisa bebas dari kemiskinan. Tapi mungkinkah?
Posting Komentar
Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!