“Anggaran dari Amerika Serikat adalah US $ 687 miliar untuk pertahanan. Dan untuk perubahan iklim, untuk menyelamatkan kehidupan, untuk menyelamatkan umat manusia, mereka hanya memasang $ 10 miliar. Ini sangat memalukan”. Evo Morales - Presiden Bolivia (Sumber : Democracynow)
Sikap yang berbeda 180 derajat tengah dipertontonkan di arena KTT Perubahan Iklim di Copenhagen - Denmark yang difasilitasi oleh United Nations Frameworks Convention on Climate Change (UNFCCC). Dimana blok negara-negara maju cenderung bersikap ambigu dalam membangun komitmen pengurangan emisi terkait isu pemanasan global dan perubahan iklim. Ya, masalah besar abad ini yang mengguncang kehidupan manusia. Kekeringan, badai dahsyat, tsunami, angin topan, es mencair, banjir, kenaikan permukaan laut rata-rata dan gelombang panas bumi yang menyengat, adalah rentetan masalah yang kini menghantui ummat manusia.
Hasil penelitian menyatakan, petaka iklim tersebut hanya dapat dihindari bila kenaikan suhu global tidak melampaui 2 derajat celsius dari level abad industri (250 tahun lalu) dan emisi global harus dikurangi 25-40 persen pada tahun 2020 dari level tahun 1990 (Sumber : Kompas). Akan tetapi, dari terget ideal yang juga turut direkomendasikan oleh hasil kesepakatan Protokol Kyoto tersebut, tidaklah dihormati oleh Negara-negara maju, terutama Amerika dan Rusia. Bahkan pasca protokol kyoto, yang mematok pengurangan emisi sebesar 40 persen hingga tahun 2020, tidak pernah diratifikasi oleh Amerika Serikat. Padahal justru Amerika-lah negara penyumbang emisi karbon tersbesar, yakni sekitar 37 persen.
Amerika Serikat beralasan bahwa tidak adil untuk tidak menuntut apapun dari negara yang baru tumbuh. Negara demikian dinilai buangan karbon dioksidanya juga meningkat cepat. Bahkan hingga hari perundingan di KTT prubahan iklim di Copenhagen tersebut, Amerika hanya mengajukan proposal pengurangan emisi karbon negaranya sebesar 16-17 persen saja. sangat jauh dari harapan kyoto. Sungguh sangat ironi memang. Inilah fakta nyata bahwa negara kapitalis seperti Amerika, memang hanya mementingkan modal dan kekuasaan, daripada keberlanjutan kehidupan ummat manusia.
Sikap Negara-negara Sosialis Terhadap Kapitalsime Global
Pemandangan berbeda justru lahir dari Negara-negara bertendensi Sosialis seperti Venezuela, Bolovia, Nicaragua, dll. Hal tersebut ditunjukkan oleh para pemimpinnya yang secara terbuka menyebutkan bahwa Kapitalisme Global-lah penyebab dari kehancuran alam dan lingkungan dunia hari ini. Presiden Venezuela - Hugo Chavez dalam pidatonya disidang KTT Perubahan iklim tersebut mengatakan bahwa, “Ada sekelompok negara-negara yang percaya bahwa mereka lebih unggul bagi kita dari Selatan, kepada orang-orang dari kita dari Dunia Ketiga. Ini tidak mengejutkan kami. Kita sedang berhadapan dengan bukti-bukti kuat kediktatoran kekaisaran global” (Sumber : Venezuelaanalysis).
Bahkan lebih lanjut, Hugo Chavez, dihadapan 3000 orang peserta rapat akbar di luar gedung pertemuan, yang terdiri dari serikat pekerja, organisasi politik serta solidaritas kampanye internasional yang bertendensi sosialis, menyatakan dengan tegas bahwa, revolusi sosialis adalah satu-satunya solusi terhadap masalah-masalah kemanusiaan, termasuk persolan perubahan iklim yang kini kian memprihatinkan. Chavez bahkan secara terbuka menuding negara-negara maju atau negara-negara kapitalisme sebagai penyebab kian buruknya perubahan iklim yang mengancam kehidupan ummat manusia diseluruh bumi.
Pembangunan industri yang membabi buta, tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan hidup milyaran ummat manusia di muka bumi ini, memang menjadi kecaman yang semakin luas. Bahkan penggunaan zat penghasil karbon, masih menjadi dominasi Amerika Serikat. Salah satu faktanya adalah, bahwa Amerika dengan jumlah penduduk 300 juta, mengkonsumsi lebih dari 20 juta barel minyak per hari. Peringkat pertama penggunaan minyak dunia. Bandingkan dengan Cina yang tingkat populasinya hampir lima kali lebih besar daripada Amerika Serikat, mengkonsumsi sekitar 5-6 juta barel per hari.
Namun yang justru menjadi pertanyaan penting adalah, mengapa justru komitmen pengurangan emisi karbon, tidaklah terlihat dari Amerika. Negara simbol Kapitalisme Global tersebut, hanya menyanggupi pengurangan emisi karbon sebesar 16-17 persen saja. Sangat jauh dari target yang ditetapkan. Disamping itu, alokasi pembiayaan juga terasa sangat kecil, yakni sekitar $ 10 milyar. Bandingkan dengan alokasi Amerika Serikat untuk aggaran pertahanan dan perang sebesar US $ 687.
Dari situasi ini, maka sangat jelaslah bahwa Komitmen untuk menggapai masa depan dunia yang lebih baik, hanya ditunjukkan oleh Negara-negara Sosialis. Bukan karena stigma sosialisme yang melekat di Negaranya, namun dari tindakan nyata dan kongkrit yang mereka tunjukkan selama ini. Bagaimana dengan indonesia?. Sungguh tidak sekalipun Presiden SBY berani menunjuk hidung kapitalisme global sebagai penyebab semua ini.
Copenhagen Meeting: Ketegasan Negara Sosialis Vs Keraguan Negara Kapitalis
Sabtu, 19 Desember 2009 Time post : 1:32:00 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!