Tampilkan postingan dengan label Internasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Internasional. Tampilkan semua postingan

Copenhagen Meeting: Ketegasan Negara Sosialis Vs Keraguan Negara Kapitalis

Sabtu, 19 Desember 2009

“Anggaran dari Amerika Serikat adalah US $ 687 miliar untuk pertahanan. Dan untuk perubahan iklim, untuk menyelamatkan kehidupan, untuk menyelamatkan umat manusia, mereka hanya memasang $ 10 miliar. Ini sangat memalukan”. Evo Morales - Presiden Bolivia (Sumber : Democracynow)

Sikap yang berbeda 180 derajat tengah dipertontonkan di arena KTT Perubahan Iklim di Copenhagen - Denmark yang difasilitasi oleh United Nations Frameworks Convention on Climate Change (UNFCCC). Dimana blok negara-negara maju cenderung bersikap ambigu dalam membangun komitmen pengurangan emisi terkait isu pemanasan global dan perubahan iklim. Ya, masalah besar abad ini yang mengguncang kehidupan manusia. Kekeringan, badai dahsyat, tsunami, angin topan, es mencair, banjir, kenaikan permukaan laut rata-rata dan gelombang panas bumi yang menyengat, adalah rentetan masalah yang kini menghantui ummat manusia.

Hasil penelitian menyatakan, petaka iklim tersebut hanya dapat dihindari bila kenaikan suhu global tidak melampaui 2 derajat celsius dari level abad industri (250 tahun lalu) dan emisi global harus dikurangi 25-40 persen pada tahun 2020 dari level tahun 1990 (Sumber : Kompas). Akan tetapi, dari terget ideal yang juga turut direkomendasikan oleh hasil kesepakatan Protokol Kyoto tersebut, tidaklah dihormati oleh Negara-negara maju, terutama Amerika dan Rusia. Bahkan pasca protokol kyoto, yang mematok pengurangan emisi sebesar 40 persen hingga tahun 2020, tidak pernah diratifikasi oleh Amerika Serikat. Padahal justru Amerika-lah negara penyumbang emisi karbon tersbesar, yakni sekitar 37 persen.

Amerika Serikat beralasan bahwa tidak adil untuk tidak menuntut apapun dari negara yang baru tumbuh. Negara demikian dinilai buangan karbon dioksidanya juga meningkat cepat. Bahkan hingga hari perundingan di KTT prubahan iklim di Copenhagen tersebut, Amerika hanya mengajukan proposal pengurangan emisi karbon negaranya sebesar 16-17 persen saja. sangat jauh dari harapan kyoto. Sungguh sangat ironi memang. Inilah fakta nyata bahwa negara kapitalis seperti Amerika, memang hanya mementingkan modal dan kekuasaan, daripada keberlanjutan kehidupan ummat manusia.

Sikap Negara-negara Sosialis Terhadap Kapitalsime Global

Pemandangan berbeda justru lahir dari Negara-negara bertendensi Sosialis seperti Venezuela, Bolovia, Nicaragua, dll. Hal tersebut ditunjukkan oleh para pemimpinnya yang secara terbuka menyebutkan bahwa Kapitalisme Global-lah penyebab dari kehancuran alam dan lingkungan dunia hari ini. Presiden Venezuela - Hugo Chavez dalam pidatonya disidang KTT Perubahan iklim tersebut mengatakan bahwa, “Ada sekelompok negara-negara yang percaya bahwa mereka lebih unggul bagi kita dari Selatan, kepada orang-orang dari kita dari Dunia Ketiga. Ini tidak mengejutkan kami. Kita sedang berhadapan dengan bukti-bukti kuat kediktatoran kekaisaran global” (Sumber : Venezuelaanalysis).

Bahkan lebih lanjut, Hugo Chavez, dihadapan 3000 orang peserta rapat akbar di luar gedung pertemuan, yang terdiri dari serikat pekerja, organisasi politik serta solidaritas kampanye internasional yang bertendensi sosialis, menyatakan dengan tegas bahwa, revolusi sosialis adalah satu-satunya solusi terhadap masalah-masalah kemanusiaan, termasuk persolan perubahan iklim yang kini kian memprihatinkan. Chavez bahkan secara terbuka menuding negara-negara maju atau negara-negara kapitalisme sebagai penyebab kian buruknya perubahan iklim yang mengancam kehidupan ummat manusia diseluruh bumi.

Pembangunan industri yang membabi buta, tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan hidup milyaran ummat manusia di muka bumi ini, memang menjadi kecaman yang semakin luas. Bahkan penggunaan zat penghasil karbon, masih menjadi dominasi Amerika Serikat. Salah satu faktanya adalah, bahwa Amerika dengan jumlah penduduk 300 juta, mengkonsumsi lebih dari 20 juta barel minyak per hari. Peringkat pertama penggunaan minyak dunia. Bandingkan dengan Cina yang tingkat populasinya hampir lima kali lebih besar daripada Amerika Serikat, mengkonsumsi sekitar 5-6 juta barel per hari.

Namun yang justru menjadi pertanyaan penting adalah, mengapa justru komitmen pengurangan emisi karbon, tidaklah terlihat dari Amerika. Negara simbol Kapitalisme Global tersebut, hanya menyanggupi pengurangan emisi karbon sebesar 16-17 persen saja. Sangat jauh dari target yang ditetapkan. Disamping itu, alokasi pembiayaan juga terasa sangat kecil, yakni sekitar $ 10 milyar. Bandingkan dengan alokasi Amerika Serikat untuk aggaran pertahanan dan perang sebesar US $ 687.

Dari situasi ini, maka sangat jelaslah bahwa Komitmen untuk menggapai masa depan dunia yang lebih baik, hanya ditunjukkan oleh Negara-negara Sosialis. Bukan karena stigma sosialisme yang melekat di Negaranya, namun dari tindakan nyata dan kongkrit yang mereka tunjukkan selama ini. Bagaimana dengan indonesia?. Sungguh tidak sekalipun Presiden SBY berani menunjuk hidung kapitalisme global sebagai penyebab semua ini.

Vonis Suu kyi : duka demokrasi Rakyat Burma

Jumat, 14 Agustus 2009

International Analysis - Aung San Suu Kyi, adalah tipikal pemimpin yang tidak kenal menyerah meski menghadapi hantaman bertubi-tubi dari rezim junta militer Nyanmar, di bawah pimpinan Jenderal Than Shwe (Penjara, cekal, pembunuhan karakter, fitnah, dll telah dialaminya sejak junta militer Nyanmar berkuasa). Meski Suu Kyi telah mengecam 20 tahun masa tahanan sejak tahun 1990, namun pengadilan Nyanmar pada hari selasa tanggal 11 Agutus 2009 kemarin, kembali menjatuhkan vonis 18 bulan tahanan rumah bagi pemimpin pro-demokrasi Burma tersebut. berdasarkan beberapa sumber berita yang saya baca, bahwa sebelum vonis 18 bulan tahanan rumah ini dijatuhkan, pengadilan Nyanmar awalnya memvonis Suu Kyi dengan hukuman penjara kerja paksa selama tiga tahun. Akan tetapi, terdapat kejadian lucu, menggelikan sekaligus menjengkelkan. Setelah lima menit reses, Menteri Dalam Negeri Myanmar memasuki ruang sidang pengadilan dan membacakan perintah khusus (special command) dari pemimpin junta militer Jenderal Senior Than Shwe. Lagi-lagi ini mengingatkan kita dengan "otoritarian era" di zaman Orde Baru dulu, dimana segala sesuatunya ditentukan oleh "si empunya" Negara, bahkan hukum-pun menjadi mainan yang mudah diutak-atik sesuai keinginan.

Vonis pengadilan selama 18 bulan bagi Suu Kyi bermula pada bulai Mei 2009 silam, dimana salah seorang warga negara Amerika memasuki rumah Suu kyi yang dikelilingi oleh danau dengan tujuan memperingatkan Suu Kyi, kemungkinan bahaya yang dihadapi. Inilah dijadikan alasan utama junta militer untuk menjatuhkan vonis hukuman baru bagi Suu Kyi, yang sesungguhnya masa tahanan 20 tahun-nya berakhir pada bulan Mei saat kejadian berlangsung. Ini merupakan tekanan politik yang secara sistematis dilancarkan oleh junta militer dengan kedok peradilan yang seakan-akan Suu Kyi bersalah. Lantas bagaimana sikap dunia internasional dengan penahanan kembali Suu Kyi ini? "sangat mengecewakan...

Sikap pengucut dewan keamanan PBB
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB) menggelar sidang di markas mereka di New York, Amerika Serikat. Sidang ini digelar dengan agenda pembahasan mengenai situasi politik Nyanmar. Namun sungguh mengecewakan, Dewan keamanan PBB hanya menyatakan "sikap keprihatinan yang serius" atas putusan sidang pengadilan junta militer Nyanmar yang memvonis 18 bulan tahanan rumah kepada tokoh pro-demokrasi, Aung San Suu Kyi. Negara-negara anggota yang memiliki hak veto, terutama Cina dan Rusia, justru lebih memilih untuk mengaburkan fakta pembungkaman Hak Asasi Manusia yang seharusnya diperjaungkan. mereka beralasan bahwa Nyanmar tetap harus diberikan hak politiknya untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri (self determination) tanpa ada satupun pihak yang boleh campur tangan. namun apapun alasannya, sikap Dewan Keamanan PBB ini jelas merupakan ketidaktegasan alias pengecut, mengingat masa depan Burma telah sekian lama terlunta-lunta akibat junta militer berkuasa. Pelanggaran HAM, tidak adanya kebebesan demokrasi, pembungkaman hak politik warga, dll, adalah deretan sebahagian kecil deretan panjang dosa-dosa junta militer Nyanmar.

Pemilu 2010 : satukan kekuatan kebangkitan gerakan pro-demokrasi
Vonis pengadilan 18 bulan yang dijatuhkan kepada Aung San Suu Kyi, membuat pemimpin gerakan pro-demokrasi rakyat Burma ini kecil kemungkinan untuk ikut serta dalam Pemilihan Umum (general election) yang akan digelar tahun depan. Namun ini tentu tidak akan menyempitkan perjuangan rakyat Burma demi tegakknya demokrasi. kita tentu masih ingat, bagaimana mobilisasi gerakan rakyat yang dipelopori oleh kaum "Biksu" dalam menggelar protes keras terhadap tindakan membabi buta junta militer, pada akhir tahun 2007 silam. paling tidak, hal ini membuktikan bahwa junta militer bukanlan hal yang mustahil untuk dikalahkan. Tembok raksasa serta kuatnya tekanan, akan melahirkan kekuatan perlawanan yang kuat pula. Ini menjadi logika kekuatan rakyat Burma demi tegaknya demokrasi. bahwa betapan kerasnya upaya junta militer untuk menekan Suu kyi (yang juga sekaligus pemimpin partai Liga Demokrasi Nasional-LND), hal tersebut tidak akan pernah menyurutkan semangat kaum pro-demokrasi Burma. pada pemilu 2010 nanti, gerakan pro-demokrasi Burma, harus lebih mampu mengorganisir tekanan terhadap junta militer melalui pemogokan, aksi protes dengan massa besar dan terorganisir, serta upaya dukungan solidaritas internasional yang harus lebih diperluas, temasuk rakyat indonesia sendiri.

Melalui tulisan singkat ini, saya sekaligus ingin menyampaikan dukungan sebesar-besarnya bagi perjuangan rakyat Burma dalam menegakkan kedaulatan rakyat dengan tanggung jawab besar hari ini untuk memukul mundur junta militer. Memang benar, bahwa perjuangan itu harus diletakkan kepada kemandirian dan upaya kita, bukanlah dengan cara moderat yang tidak bertanggung jawab (DK-PBB, Lobi, dll). Rakyat Burma juga harus belajar bahwa, perjuangan ini tidaklah diletakkan kepada pundak Aung San Suu Kyi semata, saatnya melahirkan Suu Kyi baru dari api kemarahan. Hidup rakyat Burma, bebaskan Aung San Suu Kyi, hancurkan junta militer, tegakkan demokrasi sepenuh-penuhnya.....

Samarinda, 14 Agustus 2009

Iranian worker's are not alone!

Sabtu, 27 Juni 2009

The action today, called initially by four global union organisations representing over 170 million workers, is part of an ongoing campaign that will eventually help Iranian workers win their full trade union and human rights. The action today, called initially by the ITUC (International Trade Union Confederation), EI (Education International), ITF (International Transport Workers’ Federation), IUF (International Union of Food, Agricultural, Hotel, Restaurant, Catering, Tobacco and Allied Workers' Associations), four global union organisations representing over 170 million workers, is part of an ongoing campaign that will eventually help Iranian workers win their full trade union and human rights. Such solidarity action must continue until Iranian workers have gained all these basic rights.


Following the rigged election many other peaceful protesters have also been imprisoned. On 18 June two shifts at Iran Khodro stopped work in protest at the treatment of demonstrators. The Vahed bus drivers said that they want June 26 to be turned into a day of action for human rights in Iran. This clearly shows that the workers see that their struggle for labour and trade union rights is joined up with the general struggle for human rights and democracy.

Eight weeks ago, on May Day, Iranian workers took a step that was unprecedented in the past 28 years. They managed to put aside all their divisions and differences. Nine trade unions and workers organisations (Trade Union of the Workers of the Vahed Tehran and Suburbs Bus Company, Haft Tapeh Sugar Cane Company Workers’ Trade Union, Free Trade Union of Iranian Workers, Founding Committee for Re-launching the Trade Union of Building, Painting and Decoration Workers, the Labour Rights Association, Co-operation Council of Labour Organisations and Activists Co-ordination Committee for the Formation of Labour Organisations, Pursuit Committee for the Formation of Free Labour Organisations and a group of Labour Activists), together with the Women’s Council, formed a joint May Day Organising Committee.

The Iranian regime recognised this as a danger to itself. It arrested over 150 workers and labour and human rights activists who had gathered in a Tehran park to commemorate International Labour Day. The activists had not even begun their ceremony before they were beaten, bundled into vans and taken away. The swoop by the security forces was so frenzied that they even beat up women and children and arrested many who just happened to be in Laleh Park at the time! Although this outrage provoked an outcry from the international labour movement, it was, sadly, just another chapter in the long history of abuse and persecution of the labour movement - and the movements of students, women, the youth, national minorities and so on - for their basic rights and dignity.

While trade union and human rights activists and socialists in many countries knew about the true nature of the Iranian government, the events of the past two weeks have totally exposed its brutality to a much wider public. All over the world everyone, from the workers to students and youth, now knows that the Iranian regime is one of the most undemocratic in the world. Not only does it trample on every basic rights of the mass of the Iranian people, it also cannot observe the democratic rights of its own weaker faction! The members of this faction, including some former ministers and high officials of the regime, have been arrested in the middle of the night without any warrant or identification of the detaining officers, had their house searched, their family harassed and then not heard of for days. Even though the ex-ministers’ treatment in jail will be much more mild, their illegal arrests have highlighted the every day repressive methods that confront workers, women, students, teachers, journalists, writers and artists, national minorities, human rights and civil activists (and anyone else who might want to question any aspect of social life under this regime and want to improve it).

The Iranian regime has been gradually releasing the May Day detainees. Just two are now believed to be still in jail: Mehdi Farahi Shandiz and Said Rostami. But Iran’s jails hold many other workers: Mansour Osanloo, Ebrahim Madadi, Farzad Kamangar, Salam Ghaderi and many others. Recently five leaders of the Haft Tapeh Sugar Cane Company Workers’ Trade Union were sentenced to a year in prison. We call for the immediate and unconditional release of all jailed trade unionists and labour activists in Iran.

Free all jailed workers now!
The right to strike is an absolute right!

Iranian Workers’ Solidarity Network
26 June 2009

Source : www.marxist.com

Iran election update

Jumat, 19 Juni 2009

By Alan Woods ON Thursday, 18 June 2009
Source : [ Marxist.Com ]
Dua kandidat bersaing di dalam “pemilihan presiden” Iran, tetapi rejim Iran sudah menentukan siapa yang akan menang jauh sebelum pemilihan ini diselenggarakan. Walaupun Mousavi adalah “oposisi loyal” yang moderat, sebagian besar rakyat Iran menggunakan suara mereka untuk menyuarakan oposisi mereka terhadap rejim ini. Segera setelah “hasil pemilihan” diumumkan, kerusuhan meledak di jalan-jalan, yang menunjukkan kemarahan dan ketidakpuasan rakyat. Peristiwa ini menandai sebuah fase baru di dalam perkembangan Revolusi Iran. Ahli sejarah Prancis, Alexis de Tocqueville, menulis bahwa momen yang paling berbahaya bagi sebuah pemerintahan yang buruk adalah ketika pemerintahan ini mencoba melakukan reformasi. Tetapi bahkan lebih berbahaya ketika pemerintahan ini menolak melakukan reformasi.


Sejarah telah mencatat banyak contoh rejim otokrat yang busuk, yang setelah periode kekuasaan yang lama runtuh karena proses pembusukan internal yang tidak dapat diubah. Di saat seperti ini, semua kontradiksi internal yang tersembunyi di bawah permukaan tiba-tiba meledak. Di Iran, ada dua tendensi utama: kaum garis-keras dan kaum reformis. Kaum reformis mengatakan: “Kita harus melakukan reformasi dari atas, kalau tidak kita akan ditumbangkan.” Kaum garis-keras mengatakan: “Kita harus menentang reformasi karena segera setelah kita mulai melakukan perubahan kita akan ditumbangkan.”. Dan kedua-duanya benar.

Apa yang benar di Prancis tahun 1789 juga benar di Iran tahun 2009. Setelah tiga dekade berkuasa, rejim mullah ini sangatlah tidak popular. Para analis oleh karena itu memprediksikan Mousavi, yang dikenal luas sebagai seorang “reformis”, untuk meraih suara yang besar di dalam pemilihan ini. Debat presidensial antara Mousavi dan Ahmadinejad merangsang negeri Iran, dan di hari-hari terakhir kampanye Mousavi meledak, yang memicu demonstrasi-demonstrasi besar di jalan-jalan Tehran. Apa yang ditunjukkan oleh demo-demo tersebut adalah keinginan yang membara untuk sebuah perubahan.

Mousavi diprediksikan untuk mengalahkan Ahmadinejad bila tingkat partisipasi pemilu tinggi – atau setidaknya mampu meraih cukup suara untuk memicu putaran kedua. Para pejabat pemerintahan mengumumkan bahwa jumlah pemilih yang tinggi seperti ini tidak pernah terlihat di dalam sejarah Iran, dan ini diprediksikan akan meningkatkan peluang Mousavi untuk menang. Pada hari Sabtu (13 Juni) dua pejabat mengatakan bahwa tingkat partisipasi pemilih melebihi 80 persen.

Goncangan ekonomi di Iran selama 4 tahun belakangan ini pasti sudah memotong dukungan terhadap Ahmadinejad, bahkan di daerah-daerah rural (pedesaan). Akan tetapi, pemerintah Iran mengumumkan bahwa Ahmadinejad bukan hanya memenangkan pemilihan ini tetapi juga menang telak dengan 62,63% suara, dibandingkan dengan 33,75% untuk Mir Hossein Mousavi. Menurut hasil ini, yang diumumkan dengan terburu-buru, Mousavi bahkan kalah di daerah Teheran yang merupakan basis utamanya. Kecurangan pemilu ini sungguh sangat menyolok mata bahkan ini mengejutkan rakyat Iran yang sudah terbiasa dengan kecurangan pemilu.
Kecurangan Pemilu

Cepatnya pengumuman hasil pemilu sudah merupakan bukti yang cukup bahwa ada kecurangan yang masif. Iran masih merupakan sebuah negara pedesaan dengan infrastruktur yang tidak memungkinkan penghitungan suara yang cepat. Di sebuah pemilu yang jujur, dibutuhkan beberapa hari untuk mengumpulkan semua hasil dari propinsi-propinsi, desa-desa, dan daerah-daerah pedalaman. Justru Ahmadinejad segera mengumumkan bahwa dia telah menang dengan suara mayoritas. “Rakyat Iran memberikan inspirasi bagi semua bangsa dan menciptakan sebuah sumber kebanggaan bangsa dan mengecewakan semua pengkritiknya,” kata Ahmadinejad di pidato TV nasional hari Sabtu malam (sehari setelah pemilu pada hari Jumat). “Pemilu ini diselenggarakan di waktu yang genting di sejarah.”

Bagi sebuah rejim despot yang memegang semua kekuasaan dengan erat di tangannya, bukanlah sebuah tugas yang sulit untuk mencurangi sebuah pemilu. Setelah tempat-tempat pemilihan suara (TPS) ditutup – menurut laporan dari Iran – Pasukan Tentara Revolusioner Iran yang bersenjata lengkap keluar ke jalan-jalan. Di satu area di Tehran utara, basis dari kaum oposisi dan reformis mantan Perdana Menteri Mousavi, jurnalis-jurnalis asing melaporkan melihat sebuah konvoi setidaknya 15 kendaraan militer yang dipenuhi oleh tentara-tentara bersenjata. Kantor Kementerian Dalam Negeri diblokade dan dijaga dengan ketat karena rejim ini takut kalau pendukung Mousavi akan berkumpul di sana untuk memprotes hasil pemilu.

Ibrahim Yazdi, figur oposisi Iran dan mantan menteri luar negeri Iran pada permulaan Republik Islam, mengatakan kepada jurnalis Amerika Robert Dreyfuss:

“Banyak dari kita yang percaya bahwa pemilu ini dicurangi. Bukan hanya Mousavi. Kita tidak meragukan ini. Dan menurut kami, pemilu ini tidak punya legitimasi. Banyak sekali kejanggalan-kejanggalan. Mereka tidak mengijinkan para kandidat untuk memonitor pemilu ini atau memonitor penghitungan suara di TPS-TPS. Menteri Dalam Negeri mengumumkan bahwa dia akan memonitor penghitungan suara akhir di kantor dia, di kantor kementrian, hanya dengan dua pembantu yang hadir. “Di pemilu-pemilu sebelumnya, mereka mengumumkan hasil pemilu di setiap distrik, supaya rakyat bisa mengikutinya dan memutuskan validalitas dari hasil tersebut. Pada tahun 2005, banyak masalah: di satu distrik ada sekitar 100.000 pemilih, dan mereka mengumumkan total suara 150.000. Kali ini mereka bahkan tidak mengumumkan informasi dari setiap distrik. “Secara keseluruhan, ada 45.000 TPS. Ada 14.000 TPS bergerak, yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Banyak dari kita yang memprotes ini. Sejatinya, TPS bergerak ini seharusnya digunakan di rumah sakit dan sebagainya. Sekarang, mereka digunakan di kantor-kantor polisi, barak-barak tentara, dan markas-markas tentara lainnya. Bila 500 suara dipalsukan di setiap 14 ribu kotak suara ini, totalnya adalah 7 juta suara. “Mousavi dan Karroubi [kandidat oposisi utama] sebelumnya telah membentuk sebuah komite bersama untuk melindungi suara rakyat. Banyak kaum muda yang menjadi sukarelawan untuk komite ini. Tetapi pihak otoritas tidak mengijinkan komite ini. Kemarin malam [yakni, malam pemilu] pihak keamanan menutup komite tersebut. Tidak ada cara, yang independen dari pemerintahan dan Majelis Wali (Guardian Council), untuk menverifikasi hasil pemilu ini.”

Dengan sebuah pemilu yang dicurangi di kantongnya, kesombongan Ahmadinejad sungguh tidak ada batasnya. Dia mengatakan bahwa pemilu ini adalah “model demokrasi” dan menuduh “penindas dari Barat” mengkritik proses pemilu tersebut. “Pada pemilu hari Jumat, rakyat Iran bangkit menang,” seru Ahmadinejad.

“Pemilu di Iran sangatlah penting. Pemilu berarti konsensus kebulatan tekad rakyat dan kristalisasi tuntutan dan kehendak mereka, dan ini adalah loncatan menuju puncak aspirasi dan progres. Pemilu di Iran adalah gerakan yang benar-benar popular yang dimiliki oleh rakyat yang melihat ke masa depan, bertujuan untuk membangun masa depan.”

Dia mengindikasikan progres melalui konsensus, mengatakan bahwa perubahan ekonomi dan infrastruktur dapat dicapai di Iran melalui sebuah proses kolektif. “Kita semua bisa bekerja sama”, kata dia, pada saat yang sama preman-preman bersenjata dia memukuli orang-orang di jalanan. Puluhan ribu pendukung Ahmadinejad yang mengibarkan bendera berkumpul di Taman Valiasr di Tehran untuk mendengarkan pidato kemenangan dia, dimana dia berusaha menunjukkan kekuatan dia guna merepresi protes kaum oposisi.

“Pemilu pada tanggal 12 Juni adalah sebuah ekspresi artistik dari bangsa ini, yang menciptakan sebuah perkembangan baru di dalam sejarah pemilu di negara ini,” kata Ayatollah Khamenei. “Tingkat partisipasi lebih dari 80% dan 24 juta surat suara untuk presiden yang terpilih adalah sebuah perayaan yang sesungguhnya, dari mana kekuatan Tuhan yang maha besar akan dapat menjamin perkembangan, progres, keamanan nasional, dan kebahagiaan dan gelora bangsa ini.”

Protes-Protes Spontan

Negara Iran sungguh-sungguh bergelora – tetapi bukan karena kebahagiaan. Kandidat reformis Mehdi Karrubi mengatakan bahwa hasil pemilu yang diumumkan adalah sebuah “lelucon” dan “mengejutkan”. Bahkan ketika Ahmadinejad memuji hasil pemilu dan tingkat partisipasi, Mousavi dan pendukungnya di jalan-jalan Tehran geram dan pertikaian di jalanan meledak. Pada hari Sabtu sore, jalan-jalan di ibukota Iran biasanya sepi. Tetapi hari Sabtu kemarin, demo-demo spontan meledak di jalan-jalan Tehran. Ini merefleksikan sebuah kemarahan, keputusasaan, dan kebencian besar yang terakumulasikan di dalam masyarakat Iran yang sekarang hamil dengan revolusi.

Khamenei menyerukan bahwa rakyat Iran harus mengambil napas panjang setelah pemilu. “Hari Sabtu setelah pemilu harus selalu menjadi hari penuh kasih sayang dan kesabaran,” kata Khamenei. “Para pendukung dari kandidat terpilih dan kandidat lainnya harus menahan diri dari provokasi dan sikap-sikap yang mencurigakan. Presiden yang terpilih adalah presiden dari seluruh rakyat Iran dan semua orang, termasuk para lawannya kemarin, harus melindungi dan menolong dia.” Kata-kata dari Pemimpin Tertinggi ini menunjukkan ketakutan rejim Iran terhadap kekacauan publik. Tidaklah salah bagi mereka untuk merasa ketakutan.

Para demonstran berteriak, “Presiden melakukan kejahatan dan Pemimpin Tertinggi mendukungnya”. Ini adalah sebuah kalimat yang provokatif di sebuah rejim dimana Pemimpin Tertinggi, Ali Khamenei, dianggap selalu benar. Toko-toko, kantor-kantor pemerintah dan bisnis tutup lebih awal karena situasi yang semakin tegang. Massa juga berkumpul di luar markas Mousavi tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran lawan politik utama Ahmadinejad. Para pendukung mengayunkan kepalan tangan mereka dan meneriakkan slogan-slogan anti-Ahmadinejad.

Para demonstran membakar tong-tong sampah dan ban, membuat asap-asap hitam yang membumbung tinggi di antara gedung-gedung apartemen dan perkantoran di Tehran. Sebuah bis yang kosong diamuk api di pinggiran jalan. Polisi melawan balik dengan pentungan mereka, termasuk polisi di sepeda motor yang mengayunkan pentungan mereka, dan para demonstran melempar batu-batu dan botol-botol ke polisi sambil berteriak “Ahmadinejad, kembalikan suara kami” dan “Pemilu ini penuh dengan kebohongan”.

Lebih dari 100 figur reformis, termasuk Mohammad Reza Khatami, saudara dari mantan presiden Mohammad Khatami, ditangkap, menurut pemimpin reformis Mohammad Ali Abtahi. Dia mengatakan kepada jurnalis Reuters bahwa mereka yang ditangkap adalah anggota partai reformis utama, Mosharekat. Pembicara dari jaksa agung menyangkal bahwa mereka telah ditangkap tetapi mengatakan bahwa mereka dipanggil dan “diperingati untuk tidak meningkatkan ketegangan” sebelum dilepas. Negara Iran memenjara dan menyiksa banyak aktivis buruh dan memukuli mahasiswa, tetapi para politisi borjuasi dilepas dengan hanya tamparan di tangan.

Rakyat melihat keluar dari jendela dan balkon untuk menyaksikan barisan demonstran di jalanan, kebanyakan dari mereka adalah pendukung Mousavi dan melakukan demo yang berisik tetapi damai. Malam harinya, massa yang geram dan marah berkumpul di Taman Moseni di Tehran, merusaki toko-toko, membakar barang-barang dan merusak tanda-tanda lalu lintas. Dua kelompok massa saling berhadapan di taman tersebut, saling melempar batu dan berteriak marah. Pengamat mengatakan bahwa kedua pihak tersebut mungkin adalah pendukung Ahmadinejad di satu pihak dan pendukung Mousavi di pihak lain.

Protes-protes ini, yang jelas-jelas spontan, tidak terbatas di Tehran. Mereka juga pecah di kota-kota lain, termasuk Tabriz, Orumieh, Hamedan, dan Rahst. Jelas kalau tidak ada yang mengorganisir demo-demo ini, apalagi para pemimpin reformis.Teknologi yang baru telah menjadi taktik kunci untuk secara politik memobilisasi kaum muda di Iran, tetapi SMS tidak berfungsi beberapa hari belakangan ini dan Facebook ditutup. Akan tetapi, metode lama dari-mulut-ke-mulut masih berfungsi dan para demonstran Iran masih hadir beramai-ramai di tempat-tempat pertemuan di seluruh Tehran pada hari Sabtu.

Pada hari Minggu, kerusuhan berlanjut. “Ada permainan kucing dan tikus antara para perusuh dan polisi”, lapor Samson Desta, seorang reporter CNN, yang dipukul dengan pentungan polisi. “Untuk sementara, tampaknya polisi telah mengontrol situasi. Tetapi kita berbicara dengan banyak mahasiswa dan mereka mengatakan ‘Ini tidak akan selesai begitu saja. Mereka bisa saja menghentikan kita sekarang tetapi kita akan kembali dan memastikan bahwa suara kita didengar’.”

Ini adalah hari kedua protes di Tehran. Pada haru Sabtu, ribuan demonstran meneriakkan slogan “Hancurkan kediktaturan” dan “Kita ingin kebebasan”, dan membakar sepeda motor polisi, menimpuk batu ke jendela toko-toko, dan membakar tong-tong sampah.

Pada hari Minggu malam, jalan-jalan Tehran dipenuhi dengan ketenangan yang mencekam, tetapi reporter BBC Jon Leyne yang berada di kota melaporkan pertikaian terjadi dekat kantor Irna (media berita ofisial Iran), dan setidaknya di satu daerah sub-urban. Juga ada laporan penutupan media independen. Kantor stasiun TV Arab al-Arabiya yang didanai oleh Saudi ditutup “tanpa alasan jelas”, kata kantor berita tersebut. Pelayanan telpon seluler sudah dikembalikan tetapi masih ada laporan bahwa SMS tetap dibatasi dan akses ke situs-situs internet popular dihalangi, termasuk situs BBC. Tindakan-tindakan ini bukan menunjukkan kepercayaan diri tetapi kegelisahan yang ekstrim dari pihak rejim.
Kemunafikan Kaum Imperialis

Seluruh dunia merespon, dimana negara-negara seperti Amerika dan Kanada menyuarakan keprihatinan mereka mengenai klaim kejanggalan pemilu. Tetapi pemerintahan-pemerintahan negara Barat yang biasanya sangat vokal dalam mengkritik pelanggaran HAM di Iran sekarang sangat hati-hati dalam menanggapi kecurangan pemilu dan kekerasan di Iran.

Menurut sebuah laporan CNN, komandan militer Amerika di Timur Tengah dikirimi sebuah pesan untuk mengingatkan pasukan Amerika untuk menjaga disiplin dan hati-hati bila mereka berhadapan dengan pasukan militer Iran selama gejolak politik yang mungkin terjadi seputar pemilihan presiden di Iran. Kekhawatiran militer Amerika juga mempertimbangkan “sensitifitas Iran yang meninggi dan bahkan mungkin kekhawatiran akan ancaman keamanan internal dan eksternal yang mungkin terjadi,” kata salah seorang pejabat militer.

Kritik dari Washington tidak seperti biasa, kali ini sangat sepi. Hilary Clinton telah menutup mulut dia, dan membiarkan wapres AS, Joe Biden, untuk mengekspresikan “keraguan” mengenai “bagaimana mereka menindas massa, bagaimana mereka memperlakukan para demonstran”. Walaupun dengan bahasa yang lebih halus dia mengatakan bahwan AS harus menerima “untuk sementara” klaim dari pemerintah Iran bahwa Ahmadinejad memenangkan pemilu ini. Biden mengatakan, “Ada banyak masalah bagaimana pemilu ini diselenggarakan. Kita tidak memiliki bukti yang cukup untuk membuat penilaian yang pasti.”

Menteri luar negeri Prancis, Bernard Kouchner, mengatakan bahwa Prancis kawatir akan situasi di Iran dan mengkritik “reaksi yang sedikit brutal” oleh pihak otoritas dalam merespon demo-demo. Uni Eropa mengatakan di dalam sebuah pernyataan bahwa mereka “khawatir akan kejanggalan-kejanggalan yang dilaporkan” selama pemilu pada hari Jumat.

Respon yang ragu-ragu dan sopan dari negara-negara imperialis ini bukanlah sebuah kebetulan. Mereka takut akan meledaknya revolusi di Iran yang akan menjadi seperti sebuah gempa di seluruh Timur Tengah dan Asia. Terlebih lagi, Washington berharap untuk membina hubungan baik dengan pemerintah Tehran, yang bantuannya dibutuhkan untuk memastikan penarikan mundur pasukan dari Irak dan menyediakan rute suplai ke Afghanistan yang terjamin. AS juga membutuhkan dukungan Iran untuk “inisiatif perdamaian” untuk masalah Palestina baru-baru ini. Setidaknya AS memerlukan kepastian bahwa Iran tidak akan menyabotase usaha ini – walaupun Netanyahu telah melakukan tugas yang baik dengan menuntut bahwa negara Palestina yang terbentuk harus dilucuti dan tidak ada hak untuk kembali ke diaspora Palestina.

Faktor-faktor inilah yang menentukan kebijakan yang bersifat damai dari Obama terhadap Iran, yang sudah kita prediksikan sebelumnya [baca The invasion of Gaza: what does it mean?] Satu minggu setelah menjadi presiden, Obama menawarkan perdamaian kepada Tehran, meminta rejim ini untuk “melonggarkan kepalan tangan mereka”. Dua bulan kemudian, Obama menayangkan sebuah pesan untuk Iran, untuk pertama kalinya mengakui para Ayatollah (pemimpin agama Shiite) sebagai perwakilan rakyat Iran yang sah. Bulan lalu, Obama mengakui hak Republik Islam Iran untuk memperkaya Uranium dan di Kairo dia mengakui keterlibatan CIA dalam penumbangan pemerintah Mossadegh lebih dari setengah abad yang lalu.

Rakyat Iran memiliki memori yang panjang dan cukup mengenal imperialisme untuk membencinya dengan seluruh hati mereka. Ketika perdana menteri Mossadegh ditumbangkan pada kudeta 1953 yang diorganisir oleh CIA dan intelejen Inggris, “demokrasi” Barat menggantikan demokrasi Iran dengan kediktaturan Shah. Kekuasaannya yang penuh darah dan korupsi adalah berdasarkan teror massa dimana polisi rahasia Savak yang terkenal sangat buruk melakukan kampanye pembunuhan dan penyiksaan secara sistematis. “Demokrasi” Barat mendukung boneka despot imperialis ini dan tidak berkomentar apa-apa mengenai pelanggaran HAM di Iran pada saat itu. Inilah mengapa rakyat Iran tidak punya alasan untuk mempercayai kehendak baik dari imperialisme atau mendengarkan khotbah “demokrasi mereka hari ini!”
Perpecahan di dalam rejim

Setelah pemilu, Teheran dipenuhi dengan rumor kudeta. Tetapi pada kenyataannya kudeta ini tidak dibutuhkan. Ahmadinejad telah mengumpulkan begitu banyak kekuasaan di tangannya sehingga dia telah menegakkan kediktaturan, secara de facto walaupun bukan secara legal. Selain pasukan reguler, dia mengontrol Pasukan Revolusioner, yang dia gunakan untuk membabat demo-demo secara brutal pekan yang lalu. Ahmadinejad mengontrol kementrian dalam negeri, kementrian informasi, dan kementrian intelejen.

Setelah pemilu, pihak keamanan menduduki banyak kantor-kantor suratkabar, untuk memastikan bahwa laporan mengenai pemilu mereka sesuai dengan versi pemerintah. Mereka merubah berita utama di banyak koran-koran. Ini adalah cara yang baik untuk memastikan laporan pemilu yang bagus! Pasukan Revolusioner mengambil alih segalanya, termasuk institusi ekonomi. Kementrian Dalam Negeri memperketat kontrolnya di seluruh propinsi.

Ada juga rumor bahwa Ahmadinejad memikirkan berpikir untuk mengubah konstitusi untuk membolehkan presiden menjabat lebih dari dua periode, guna membuat kepresidenan dia lebih permanen. Dia sedang mengulangi kudeta Louis Bonaparte, yang mengkombinasikan pemilu yang curang dan intrik-intrik parlemen dengan sebuah kampanye teror yang dilakukan oleh Masyarakat 10 Desember, yang beranggotakan preman-preman, kriminal-kriminal, dan lumpenproletar. Basis sosial Ahmadinejad juga serupa: kaum tani terbelakang, yang dapat digunakan untuk melawan penduduk kota-kota yang lebih maju.

Secara teori situasinya tampak tidak ada harapan. Tetapi ini hanyalah di permukaan saja. Ahmadinejad dan pendukungnya telah menang pemilu, tetapi pemilu ini telah menyebabkan kemarahan dan kegeraman di ibukota Iran. Pemerintahan yang baru ini akan dihadapi dengan masalah-masalah serius di semua level, terutama ekonomi. Ilusi-ilusi terakhir dari kaum tani akan hancur oleh kesukaran yang disebabkan oleh krisis ekonomi.

Di periode yang terakhir, Ahmadinejad bisa tetap berkuasa sebagian karena menggunakan represi dan demagog anti-Amerika, tetapi terutama karena kekayaan minyak Iran untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang popular. Ini memastikan dia basis dukungan tertentu dari populasi, terutama di antara kaum tani. Tetapi sekarang dengan krisis ekonomi dan jatuhnya harga minyak, ini akan memotong ruang manuver Ahmadinejad. Di lain pihak, demagog “anti-imperialis” dia telah menjadi semakin lemah. Rakyat tidak bisa makan bom nuklir!

Sejarah rejim-rejim diktatur dan otokrat menunjukkan bahwa mustahil untuk mempertahankan rejim seperti itu hanya dengan basis represi saja. Segera setelah massa bergerak, tidak ada aparatus negara apapun, walaupun sangat kuat dan kejam, yang dapat menghentikan mereka. Ini adalah pelajaran dari Prancis tahun 1789, dari Tsar Rusia tahun 1917 dan Shah Iran tahun 1979. Louis Bonaparte merebut kekuasaan dengan kudeta dan berkuasa selama dua dekade. Tetapi pada akhirnya kekuasaan dia diakhiri oleh Komune Paris. Ahmadinejad tidak akan berkuasa selama itu karena alasan-alasan yang kita sudah kita paparkan, dan semakin lama dia bertengger berkuasa, semakin eksplosif situasinya dan semakin tajam kontradiksi internal di dalam rejim ini.

Walaupun menunjukkan taring mereka, retakan-retakan internal yang sedang memecahkan rejim ini semakin mendalam. Ada suara di dalam rejim yang menentang Ahmadinejad. Dan tidaklah jelas bila dia dan Sepah (Pasukan Revolusioner) cukup kuat untuk melawan mereka. Pemimpin Tertinggi, Ayatollah Ali Khamenei, sedang memainkan peran Bonaparte, menyeimbangkan faksi-faksi yang ada. Akan ada pertentangan dan perpecahan antara faksi-faksi yang berbeda yang merefleksikan krisis yang mendalam di rejim itu sendiri.

Di wawancara yang sudah kita sebut, Ibrahim Yazdi merujuk pada perpecahan di dalam rejim:

“Setelah pemilu yang terakhir [2005], setelah Ahmadinejad pertama kali terpilih, banyak pertanyaan yang dilontarkan mengenai usaha Ahmadinejad untuk mengisolasi Pemimpin Tertinggi. Kita membicarakan ini secara terbuka. Kali ini, dalam persiapan pemilu, mereka semakin mengisolasi dia. Contohnya, dulu [mantan presiden] Ali Akbar Hashemi-Rafsanjani mempunyai pengaruh, bahkan lebih berpengaruh dibandingkan pemimpin. Sekarang, dengan slogan yang digunakan di demo Ahmadinejad, slogan seperti “Gantung Hashemi!”, mereka telah menciptakan jurang yang dalam. Khamenei juga telah kehilangan dukungan dari anggota-anggota majelis ulama tingkat tinggi.”

Kepengecutan Kaum Reformis

Kaum reformis liberal di Iran dan di luar negeri telah tenggelam jauh di dalam keputusasaan. Mousavi telah berjanji akan melawan hasil pemilu ini, dengan menggunakan kata-kata seperti “tirani” dan menambahkan “Saya tidak akan menyerah pada penipuan yang berbahaya ini.” Bahkan sebelum penghitungan suara selesai, Mousavi mengeluarkan sebuah surat yang keras yang menuntut dihentikannya penghitungan suara karena “pelanggaran-pelanggaran berat yang jelas” dan menuduh pemilu ini bukan proses yang jujur.

Pemimpin oposisi ini mengatakan bahwa hasil pemilu dari “pengawas yang tidak bisa dipercaya” merefleksikan “melemahnya pilar-pilar sistem yang suci” dari Iran dan “melemahnya kekuasaan otoriter dan tirani.” Pengawas pemilu independen dilarang di TPS-TPS. Mousavi mengatakan di pernyataannya, “Hasil yang diumumkan untuk pemilihan presiden ke 10 ini sangatlah mengejutkan. Rakyat yang berdiri di antrian yang panjang dan tahu siapa yang mereka pilih benar-benar tercengang oleh para pesulap yang bekerja di televisi dan radio.”

Korannya Mousavi, Kalemeh Sabz, atau Kata Hijau, tidak terbit hari ini. Seorang editor yang tidak ingin namanya disebut mengatakan bahwa pihak otoritas berang dengan pernyataan-pernyataan Mousavi. Website koran ini melaporkan bahwa ada lebih dari 10 juta suara di hari pemilihan (Jumat) yang tidak memiliki nomor identitas nasional, yang membuat suara-suara ini “tidak bisa ditelurusi”.

Pendukung Mousavi turun ke jalan-jalan ibukota untuk menghadapi pentungan dan gas air mata, dan Houssein Mousavi mengajukan tuntutan formal menentang hasil pemilu. Dia telah mengajukan tuntutan ini ke Dewan Majelis (Council of Guardians) untuk membatalkan hasil pemilu ini, dan meminta pendukungnya untuk tetap memprotes “dengan cara yang damai dan legal”. “Kita telah meminta pihak pemerintah untuk mengijinkan kita mengadakan demo nasional untuk membiarkan rakyat menunjukkan penolakan mereka terhadap proses pemilu dan hasilnya,” kata Mousavi. Dewan Majelis adalah institusi yang diberi mandat oleh konstitusi, yang beranggotakan enam ulama dan enam yuris (ahli hukum) yang berfungsi sebagai otoritas elektoral Iran dan memiliki kuasa lainnya. Tetapi Ayatollah Ali Khamenei adalah Pemimpin Tertinggi dan dia telah mengatakan bahwa pemilu ini telah diselenggarakan dengan jujur dan memerintah ketiga kandidat yang kalah dan pendukung mereka untuk menghindari sikap “provokatif”.

Demo massa yang direncanakan oleh oposisi untuk memprotes kecurangan pemilu telah dilarang. Oleh karena itu, jalan untuk memprotes melalui cara-cara legal dan konstitusional telah tertutup. Satu-satunya cara untuk memenangkan hak-hak demokratik di Iran adalah dengan mengambil jalan revolusioner. Iran, kata Mousavi, “adalah milik rakyat dan bukan milik para penipu.” Bahkan ada rumor bahwa dia akan menyerukan mogok umum. Tetapi pidato adalah murah, dan pemimpin reformis borjuis Iran akan lebih ketakutan menghadapi gerakan rakyat dibandingkan menghadapi Khamenei.
Peran Kelas Pekerja

Seperti Partai Kadet di Rusia (pada jaman Lenin dan Trotsky - Ed), kaum reformis liberal di Iran takut akan meledaknya revolusi. Ibrahim Yazdi mengatakan kepada jurnalis Amerika: “Tentu saja kita kawatir akan reaksi-reaksi spontan. Kaum muda Iran telah beraksi dan termobilisasi. Di seluruh pelosok negeri, sudah terjadi benturan-benturan yang melibatkan kekerasan. Kita tidak setuju dengan kekerasan, karena kekerasan hanya akan memberikan alasan bagi sayap Kanan untuk menindas kaum oposisi.” Dan lalu: “Kita tidak mengincar subversi. Kita tidak ingin mengganti Konstitusi. Kita ingin menciptakan sebuah kekuatan politik yang kuat yang mampu menggunakan pengaruhnya.” Kata-kata ini mengindikasikan psikologi yang sesungguhnya dari kaum reformis borjuis Iran. Mereka bisa saja mengkopi kata-kata ini dari koran-koran kaum Liberal Rusia pada bulan Februari 1917.

Akan tetapi, analogi sejarah yang sebenarnya bukan Rusia tahun 1917, tetapi tahun 1904 atau bahkan sebelum itu. Seperti Revolusi Rusia sebelum 1905, Revolusi Iran masihlah dalam tahapan embrio. Ia masih membutuhkan waktu yang panjang untuk tumbuh, dan ini bukanlah hal yang buruk dari sudut pandang kaum Marxis Iran yang membutuhkan waktu untuk membangun kekuatan mereka. Seperti kaum pekerja Rusia sebelum 1905, kelas pekerja Iran kebanyakan masih muda dan tidak berpengalaman. Generasi aktivis pekerja yang tua, yang kebanyakan dibentuk oleh sekolah Stalinisme, sebagian besar telah hilang, dihancurkan oleh represi atau kebingungan karena kebijakan keliru dari pemimpin mereka.

Dibutuhkan waktu dan pengalaman, kemenangan dan kekalahan, sebelum kelas pekerja Iran tiba pada kesimpulan akan perlunya perebutan kekuasaan. Mari kita ingat bahwa pada bulan Januari 1905 kaum proletar Rusia yang muda pertama kali muncul di lembaran sejarah dengan sebuah demonstrasi damai yang dipimpin oleh seorang pendeta, dengan tanda-tanda religius di tangan mereka, dan membawa petisi untuk Tsar. Tetapi satu pertikaian berdarah cukup untuk mendorong mereka ke jalan revolusi dalam waktu 24 jam. Kita dapat mengharapkan perubahan cepat dan tajam yang serupa di Iran.

Kampanye Mousavi telah membangkitkan harapan banyak orang, terutama kaum muda kelas menengah dan para perempuan (dia menjanjikan lebih banyak hak untuk perempuan). Sekarang harapan-harapan ini telah pupus. Polisi dan “Pasukan Revolusioner” telah memberikan sebuah pelajaran yang bagus kepada para pemuda mengenai nilai demokrasi Iran dengan pentungan, pukulan, dan tendangan. Situasi di Iran masih eksplosif. Tetapi dengan tidak adanya sebuah program, perspektif, dan kepemimpinan yang jelas, demo-demo jalanan tanpa tujuan dan kerusuhan tidak akan menghasilkan apa-apa. Oleh karena itu, kemungkinan gelombang protes akan menurun untuk sementara. Tetapi gelombang ini akan kembali dengan kekerasan yang lebih besar di kemudian hari.

Kaum reformis menangis dan meratap mengenai kekalahan pemilu mereka, tetapi sebenarnya pemilu ini tidak menyelesaikan masalah apapun bagi rakyat Iran, kelas pekerja Iran, atau rejim ini. Rejim tua ini seperti Old Man of the Sea (Orang Tua di Laut) yang naik ke pundak Sinbad dan menolak untuk turun. Pemilu ini hanyalah satu pelajaran dari sekolah kehidupan yang sukar, yang pada akhirnya akan meyakinkan kaum buruh dan kaum muda bahwa dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang radikal untuk menurunkan Orang Tua ini dari punggung mereka.

Kelemahan yang sesungguhnya dari gerakan demokrasi ini adalah bahwa kaum proletar Iran yang kuat belum bergerak seperti yang terjadi pada tahun 1979. Setelah bertahun-tahun penindasan dimana gerakan buruh secara efektif terpancung, kelas pekerja membutuhkan waktu untuk menemukan pijakannya. Seperti seorang atlit yang sudah lama tidak aktif, kelas pekerja Iran harus melenturkan otot-otot mereka dan mulai berlatih sebelum bergerak secara pasti. Sudah banyak pemogokan yang terjadi karena isu-isu ekonomi. Tekanan dari bawah sedang terkumpul. Tekanan ini menemukan refleksinya di Dewan Buruh (Labour House), sebuah organisasi yang dibentuk oleh rejim Iran untuk mengontrol pekerja. Belum lama yang lalu, bahkan koran ofisial dari Dewan Buruh ini mempublikasikan sebuah artikel oleh Lenin. Bagaimana waktu sudah berubah!

Iran adalah sebuah negara yang penduduknya kebanyakan masih muda. Umur median dari populasinya adalah 27. Kaum muda ini tidak bisa mengingat waktu dimana para ulama tidak berkuasa. Dulu, para ulama dianggap suci dan tidak bisa dikorupsi, kebalikan dari monarki pro-Barat (Shah) yang bangkrut. Tetapi ini dulu sekali. Setelah puluhan tahun berkuasa, para ulama telah terekspos korup dan rejim ini kehilangan otoritas yang dulu mereka miliki. Ahmadinejad harus mendatangkan pendukungnya dari desa-desa dengan bus-bus guna mengadakan rally massa. Basis dia yang sesungguhnya adalah Pasukan Revolusioner, tetapi bahkan mereka sudah tidak menyebabkan ketakutan seperti dulu. Hal yang paling signifikan mengenai kerusuhan pekan ini bukan bahwa mereka ditekan, tetapi bahwa banyak orang yang siap turun ke jalan untuk menentang pemerintah dan kekuatan represifnya. Ini berarti rejim ini semakin kehabisan waktu.

Pada akhirnya, ini akan menyebabkan sebuah krisis. Pemerintahan ini akan menjadi pemerintahan krisis, yang kemungkinan tidak akan bisa menjalani satu periode penuh. Perpecahan sosial dan politik di dalam Iran akan semakin membesar. Militansi pekerja akan menjadi semakin besar dan mengekspresikan dirinya pertama melalui mogok-mogok ekonomi untuk upah dan kondisi kerja yang lebih baik, seperti yang sudah kita saksikan beberapa tahun belakangan ini, dan kemudian akan menjadi mogok-mogok dan demo-demo politik. Yang paling mendesak sekarang adalah untuk mengorganisir buruh dan memberikan gerakan ini sebuah program, kebijakan, dan panji yang jelas. Ini hanya bisa dilakukan di bawah bendera sosialisme.

Cukup alami kalau mahasiswa sekarang memainkan sebuah peran kunci pada tahapan revolusi ini. Ini serupa dengn situasi di Rusia tahun 1901-03, atau di Spanyol 1930-1931, sebelum jatuhnya monarki. Trotsky menulis saat itu:

“Ketika kaum borjuis secara sadar dan keras kepala menolak memberikan solusi untuk tugas-tugas yang mengalir dari krisis di dalam masyarakat borjuasi; ketika kaum proletar tampak masih belum siap untuk memberikan solusi untuk tugas-tugas itu, maka sering sekali panggung ini diambil oleh mahasiswa … aktivitas revolusioner atau semi-revolusioner dari mahasiswa berarti bahwa masyarakat borjuasi sedang melewati sebuah krisis yang dalam …. “Kaum buruh Spanyol menunjukkan sebuah insting revolusioner yang sepenuhnya tepat ketika mereka memberikan dukungan kepada demo-demo mahasiswa. Ini harus dilakukan di bawah bendera mereka sendiri dan di bawah kepemimpinan organisasi proletar mereka sendiri. Ini harus dijamin oleh komunisme Spanyol, dan untuk itu sebuah kebijakan yang tepat dibutuhkan. “Jalan ini mensyaratkan dari kaum komunis sebuah perjuangan yang pasti, berani, dan penuh energi untuk slogan-slogan demokratis. Bila ini tidak dimengerti, maka ini akan menjadi kesalahan sektarianisme yang terbesar … Bila krisis revolusioner ditransformasikan menjadi sebuah revolusi, secara tak terelakkan ini akan melewati batas-batas borjuasi, dan bila kemenangan teraih, ini akan memindahkan kekuasaan ke tangan proletar.” (Trotsky, Problems of the Spanish Revolution, Mei 1930).

Kekuatan Marxis Iran masihlah kecil tetapi setiap hari mereka bertambah besar. Dengan mengkombinasikan secara trampil tuntutan-tuntutan demokratis dengan tuntutan-tuntutan transisional, menghubungkan perjuangan sehari-hari dengan ide revolusi sosialis, mereka akan meraih telinga kaum buruh dan muda yang lebih luas yang sedang mencari sebuah perubahan fundamental di dalam masyarakat. Masa depan Iran terletak di atas jalan revolusi, dan revolusi Iran ditakdirkan untuk mengguncang dunia.

London, 15 Juni, 2009

Diterjemahkan oleh Ted S. 17 Juni 2009.

Why Marx Is The Man Of The Moment?

Minggu, 14 Juni 2009

Apenniless asylum seeker in London was vilified across two pages of the Daily Mail last week. No surprises there, perhaps - except that the villain in question has been dead since 1883. ‘Marx the Monster’ was the Mail’s furious reaction to the news that thousands of Radio 4 listeners had chosen Karl Marx as their favourite thinker. ‘His genocidal disciples include Stalin, Mao, Pol Pot - and even Mugabe. So why has Karl Marx just been voted the greatest philosopher ever?. The puzzlement is understandable. Fifteen years ago, after the collapse of communism in Eastern Europe, there appeared to be a general assumption that Marx was now [to quote Monty Python] an ex-parrot. He had kicked the bucket, shuffled off his mortal coil and been buried forever under the rubble of the Berlin Wall. No one need think about him - still less read him - ever again.

’What we are witnessing,’ Francis Fukuyama proclaimed at the end of the Cold War, ‘is not just the … passing of a particular period of postwar history, but the end of history as such: that is, the end point of mankind’s ideological evolution.’
But history soon returned with a vengeance. By August 1998, economic meltdown in Russia, currency collapses in Asia and market panic around the world prompted the Financial Times to wonder if we had moved ‘from the triumph of global capitalism to its crisis in barely a decade’. The article was headlined ‘Das Kapital Revisited’.
Even those who gained most from the system began to question its viability. The billionaire speculator George Soros now warns that the herd instinct of capital-owners such as himself must be controlled before they trample everyone else underfoot. ‘Marx and Engels gave a very good analysis of the capitalist system 150 years ago, better in some ways, I must say, than the equilibrium theory of classical economics,’ he writes. ‘The main reason why their dire predictions did not come true was because of countervailing political interventions in democratic countries. Unfortunately we are once again in danger of drawing the wrong conclusions from the lessons of history. This time the danger comes not from communism but from market fundamentalism.’

In October 1997 the business correspondent of the New Yorker, John Cassidy, reported a conversation with an investment banker. ‘The longer I spend on Wall Street, the more convinced I am that Marx was right,’ the financier said. ‘I am absolutely convinced that Marx’s approach is the best way to look at capitalism.’ His curiosity aroused, Cassidy read Marx for the first time. He found ‘riveting passages about globalisation, inequality, political corruption, monopolisation, technical progress, the decline of high culture, and the enervating nature of modern existence - issues that economists are now confronting anew, sometimes without realising that they are walking in Marx’s footsteps’.

Quoting the famous slogan coined by James Carville for Bill Clinton’s presidential campaign in 1992 (’It’s the economy, stupid’), Cassidy pointed out that ‘Marx’s own term for this theory was “the materialist conception of history”, and it is now so widely accepted that analysts of all political views use it, like Carville, without any attribution.’

Like Molière’s bourgeois gentleman who discovered to his amazement that for more than 40 years he had been speaking prose without knowing it, much of the Western bourgeoisie absorbed Marx’s ideas without ever noticing. It was a belated reading of Marx in the 1990s that inspired the financial journalist James Buchan to write his brilliant study Frozen Desire: An Inquiry into the Meaning of Money (1997).
‘Everybody I know now believes that their attitudes are to an extent a creation of their material circumstances,’ he wrote, ‘and that changes in the ways things are produced profoundly affect the affairs of humanity even outside the workshop or factory. It is largely through Marx, rather than political economy, that those notions have come down to us.’

Even the Economist journalists John Micklethwait and Adrian Wooldridge, eager cheerleaders for turbo-capitalism, acknowledge the debt. ‘As a prophet of socialism Marx may be kaput,’ they wrote in A Future Perfect: The Challenge and Hidden Promise of Globalisation (2000), ‘but as a prophet of the “universal interdependence of nations” as he called globalisation, he can still seem startlingly relevant.’ Their greatest fear was that ‘the more successful globalisation becomes the more it seems to whip up its own backlash’ - or, as Marx himself said, that modern industry produces its own gravediggers.

The bourgeoisie has not died. But nor has Marx: his errors or unfulfilled prophecies about capitalism are eclipsed and transcended by the piercing accuracy with which he revealed the nature of the beast. ‘Constant revolutionising of production, uninterrupted disturbance of all social conditions, everlasting uncertainty and agitation distinguish the bourgeois epoch from all earlier ones,’ he wrote in The Communist Manifesto.

Until quite recently most people in this country seemed to stay in the same job or institution throughout their working lives - but who does so now? As Marx put it: ‘All that is solid melts into air.’

In his other great masterpiece, Das Kapital, he showed how all that is truly human becomes congealed into inanimate objects - commodities - which then acquire tremendous power and vigour, tyrannising the people who produce them.
The result of this week’s BBC poll suggests that Marx’s portrayal of the forces that govern our lives - and of the instability, alienation and exploitation they produce - still resonates, and can still bring the world into focus. Far from being buried under the rubble of the Berlin Wall, he may only now be emerging in his true significance. For all the anguished, uncomprehending howls from the right-wing press, Karl Marx could yet become the most influential thinker of the 21st century.

Published Sunday, July 17th, 2005 - 03:36pm GMT

In the public poll, conducted on Melvyn Bragg's Radio 4 show "In Our Time", which assessed the popularity of a shortlist of 20 philosophers, the following results were obtained: Karl Marx (27.93%), David Hume (12.67%), Ludwig Wittgenstein (6.80%), Friedrich Nietzsche (6.49%), Immanuel Kant (5.61%), St. Thomas Aquinas (4.83%), Socrates (4.82%), Aristotle (4.52%) and Karl Popper (4.20%).

Article courtesy of the Observer
This article writed by Francis Wheen [source from http://www.world-crisis.com/]

Krisis baru ; wajah baru bagi Kapitalisme

Kamis, 23 April 2009

Krisis, kata ini menjadi begitu sangat populer ditelinga siapapun hari ini, tak terkecuali bagi masyarakat miskin sekalipun yang secara organik justru merupakan orang-orang yang paling menderita dan semakin terbelakang dengan keberadaan krisis ini. Namun apa dan bagaima krisis ini lahir, menjadi hal yang tidak semua orang tahu. Untuk itu, tulisan ini mencoba untuk memberikan sumbangsih terhadap penjelasan seputar fenomena krisis ini. Karena sejatinya, penyebab dari krisis ini, adalah musuh dari si korban dan bukti kegagalan serta dosa besar bagi si pelaku.

Dalam skema ekonomi global, krisis yang muncul dan meluas, selalu dimulai dari sarang si aktor atau pelaku utama yang menggerakkan perekonomian dunia. Siapa lagi kalau bukan Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya, negara yang selama ini menjadi simbol kekuatan ekonomi besar dunia saat ini. Di Amerika-lah sistem ekonomi kapitalisme yang buas dan licin bekerja. Di Amerika pula penjajahan modal terhadap negara-negara berkembang direncanakan. Melalui lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan dunia (IMF, World Bank, WTO, dll), ketergantungan itu dimulai melalui jerat utang. Namun pertanyaan sederhana muncul, jika Amerika merupaka simbol kekuatan ekonomi dunia yang paling maju, mengapa justru krisis lahir dan dimulai dari sana?. Apa yang salah? Bahkan jika me-review jauh kebelakang berdasarkan rekam jejak yang ada, sejarah Perang dunia-pun lahir dengan kemunculan krisis terlebih dahulu. Perang dunia I, Perang Dunia II, Perak Teluk, hingga Invasi ke Afganistan dan Irak sekalipun, selalu di awali dengan gejolak krisis dunia, terutama di induk Negara Kapitalisme tersebut.

Salah satu varian penyebab munculnya krisis kapitalisme adalah, terjadinya pola dasar atau keniscayaan dari sistem ini, yang kita sebut “over produksi” . Hal ini terjadi akibat pola produksi massal yang tiada henti, hanya demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Ketika produksi berlebih tersebut tidak sebanding dengan tingkat kemampuan daya beli pasar atau konsumen , maka akan terjadi ketimpangan (baca ; kerugian) yang akan mengguncang sistem kapitalisme tersebut dari dalam (internal effect). Dalam peradaban modern seperti sekarang, salah satu fakta bahwa over produksi ini tengah terjadi adalah semakin banyaknya perusahaan-perusahaan besar yang rontok satu-persatu akibat skandal keuangan , terjadinya efisiensi atau pengetatan biaya produksi yang mendorong terjadinya PHK besar-besaran, pengurangan jam kerja, dll. Lihat saja bagaimana perusahaan besar seperti yahoo, toyota, siemens dll merumahkan pekerjanhya tanpa ampun hanya untuk menyelematkan diri dari krisis.

Hal ini pulalah yang sedang terjadi di Amerika, benteng kekuatan ekonomi kapitalis dunia. “wall street”, sebagai simbolisasi kekuatan keuangan dan pasar modal terbesar dunia saat ini, kini rontok dan tak mampu berkutik sama sekali. Satu persatu perusahaan besar-pun tak lepas dari krisis keuangan, mulai dari Lehman Brothers, Goldman Sach, Merril Lynch, hingga American International Gorup (AIG) . Ini membuktikan bahwa, kapitalisme memang memiliki watak histories untuk terus menerus melahirkan kriris yang mengancam internalnya sendiri. Wajah panik tak mampu disembunyikan, Pemerintah AS lantas memberikan stimulus fiskal dalam bentuk “bailout”, sebesar 700 milliar US Dollar . Dorongan ekonomi pasar bebas (free market) dalam bentuk stimulus utang yang tidak terkontrol, budaya konsumtif yang tak terbendung melalui pemakaian kartu kredit (credit card) secara membabi buta, menjadi faktor utama letupan krisis keuangan ini muncul. Terjadilah apa yang kita sebut, “subprime mortgage” , suatu bentuk kredit pinjaman yang tidak sehat secara keuaangan. , namun tetap dipaksanakan oleh cukong-cukong kapitalis sebagai bentuk kompromi antar sesama.
(Bersambung......)

Belajarlah dari Amerika Latin ; Semangat Sosialisme yang terusmembara

Sabtu, 12 April 2008

"Sosialisme tidak akan pernah mati, akan terus hadir dalam setiap nafas kaum yang dihinakan, dia adalah hantu bagi tuan-tuan serakah, malaikat bagi kaum miskin!".

The End Of Ideology , demikian judul buku yang dijadikan alat propaganda kekuatan kapitalisme Global yang ditulis oleh Francis Fukuyama. Dibalik analisis yang membenarkan tonggak berdirinya kapitalisme dengan gagah perkasanya itu, tersimpan black propaganda terselubung yang semakin menyudutkan ideologi Sosialisme sebagai salah satu alternatif di tengah situasi kegamangan Kapitalisme yang mengalami gelombang krisis pasang surut. Sungguh suatu hegemonisasi yang ingkar dari fakta dan kenyataan. Atas dasar dan fakta apa Fukuyama membenarkan bahwa pertarungan ideology-ideology dunia telah berakhir dengan kemunculan KAPITALISME sebagai pemenang yang tak terkalahkan?

Gambaran situasi gelombang perlawanan rakyat amerika latin hari ini dalam menghadapi neo-liberalisme adalah titik tolak kebangkitan gerakan kiri dunia yang secara objektif telah mencapai tahapan-tahapan revolusioner di dalam kerangka menempatkan spektrum politik sosialisme dalam pentas kekuasaan (road to the power). “Sejarah pasti menempatkan kelas buruh-tani dalam kekuasaan ditengah himpitan krisis yang terus melanda buasnya sistem kapitalisme”, demikian maxim yang selalu terucap dari mulut seorang Marxis sejati, V.I. LENIN yang berubah menjadi sebuah keyakinan akan kemenangan kelas buruh-tani dibawah panji-panji sosialisme. Krisis ekonomi kapitalisme adalah kepastian yang absolut muncul sebagai akibat-akibat yang timbul dalam kontadiksi-kontradiksi dalam tubuhnya sendiri dan kemenangan kelas buruh-tani adalah mutlak adanya.

Soialisme bukanlah praktek ekomomi-politik dogmatis, namun suatu arahan-arahan bertindak dengan sejuta keyakinan yang dilandasi pembacaan objektif keadaan ekonomi-politik dimana Sosialisme mencoba dipraktekkan. Krisis, kemiskinan, konflik dan gejolak sosial serta carut-marutnya situasi sebuah negara adalah bom waktu yang akan meledakkan gelembung perlawanan massa secara spontanitas. Tinggal bagaimana sebuah gerakan mampu mengolah, memimpin dan mengarahkan spontanitas perlawanan massa rakyat tersebut agar tepat mengenai jantung kapitalisme. Faktualnya, kemenangan-kemenangan yang diraih gerakan kiri di seantero amerika latin bukanlah tanpa direncanakan, namun adalah praktek nyata akan keyakinan sebuah ideologi Sosialisme dengan bangunan alat politik yang terarah, rapi, sistematis dan kuat. Spontanitas massa adalah pemicu, dan alat politiklah sebagai gerbong yang akan mengarahkan kemenangan Sosialisme. Tidak ada kemenangan tanpa pemahaman akan tujuan, begitu pula dengan sosialisme! Tidak akan pernah terwujud jikalau sejarah tidak pernah berpihak dan kesadaran tidak diarahkan dalam bentuk perlawanan yang lebih kongkrit. Kasus amerika latin mengajarkan serta memberikan keteguhan hati maupun semangat tajam akan kebenaran sebuah ideologi Sosialisme yang selama ini dianggap busuk dimata tuan-tuan pemilik modal; imperialisme!!!

Rakyat Venezuela; Berjuang Ditengah Badai Krisis Kesejahteraan
Amerika latin tak jauh beda dari benua asia-afrika dalam hal posisi ketergantungan (Dependensia) terhadap kekuatan kapitalisme global. Infrastruktur ekonomi negara-negara amerika latinpun tentu menjadi sapi perahan penetrasi modal-modal imperialisme melalui proyek Neo-Liberalnya. Perangkat Structural Adjusment Programs (SAP) atau penyesuaian struktur ekonomi dinegara-negara amerika latin begitu massif yang menandakan tonggak merajalelanya praktek Neo-Liberal. Pencabutan subsidi publik, privatisasi, divestasi, deregulasi dan kebijakan pro-pasar bebas lainnya adalah menu santapan utama program ekonomi rezim-rezim pada era tahun 80-an sampai hari ini. Kemiskinanpun bertaburan dimana-mana, pengangguran menjadi pekerjaan utama dan hantu kemelaratan bahkan kematian, setiap hari membebani pikiran rakyat amerika latin. Hal tersebut adalah pemandangan sosial yang tak asing lagi bagi massa rakyat amerika latin. Ketika Mexico dinyatakan default atau tidak mampunya arus kas nekonomi negara untuk membayar utang pada tahun 1982, maka dimulailah babak ekonomi baru amerika latin dengan sejuta ilusi penyelesaiaan yang ditawarkan oleh IMF yang notabene merupakan alat kekuatan imperialisme modal untuk menekan dan memaksakan reformasi ekonomi melalui bengunan sistem ekonomi neo-liberal yang berusaha mengintegralkan sistem ekonomi domestik suatu negara kearah kompetisi pasar bebas (free market Competition) tanpa intervensi politik negara. Kenyataan tersebut menjadi sebuah bom waktu yang suatu saat akan menjadi pemicu krisis baru ketika mencapai titik kulminasinya.

Pada tahun 1989, tahun disaat terpilihnya Carlos Andres Perez sebagai presiden Venezuela, program ekonomi Neo-Liberal pro pasar bebas telah menjadi trend kebijakan yang dijadikan basis utama dalam menggerakkan arah perekonomian domestik negara Venezuela. Program-program seperti pencabutan subsidi publik, privatisasi dll-pun mulai dijalankan. Tak ayal, program Neo-Liberal Perezpun menuai dampak krisis sosial-ekonomi baru. Gross Domestic Product (GDP) Venezuela mengalami kontraksi sebesar 8,6 persen, kemiskinan meningkat 66,5 persen dari tahun sebelumnya. Gejolak sosialpun tak terhindarkan lagi. Tentu keadaan ini telah menjadi stimulus peningkatan kesadaran politik rakyat venezuela.

Disaat badai krisis melanda Venezuela, letupan perlawanan yang berwujud dalam bentuk pemberontakan guna menggulingkan pemerintahan Perez terjadi dibawah pimpinan Hugo Rafael Chavez Frias melalui barisan Bolivarian Revolution bentukannya yang meskipun akhirnya gagal. Namun, kejadian ini meningkatkan popularitas Chaves dimata rakyat ibaratkan tokoh Simon Bolivar yang selama ini menjadi legenda populis rakyat Venezuela. Terlebih lagi, logika pemberontakan yang terbangun dari rakyat akibat kemiskinan dan krisis kesejahteraan semakin meluas. Bayangkan, dinegeri yang merupakan penghasil minyak ke-empat terbesar didunia menemui kenyataan bahwa 70 % penduduknya berada dalam garis kemiskinan yang sangat tajam membuat mata terbelalak seakan tak percaya. Kekayaan negara melalui minyak sekan raib entah kemana.

Pada tahun 1998, pemilu dilaksanakan dan Chavezpun muncul sebagai pemenang sah dengan mengalahkan lawan-lawannya yang tak lain merupakan orang-orang yang pro-Neo-liberal, Pro-Pasar bebas, Pro-Amerika yang sedikit demi sedikit semakin tersingkirkan akibat kebijakan-kebijakan terdahulu pemerintahan yang tak jauh beda dengan mereka. Tak ayal, Rakyat semakin muak dengan para tokoh-tokoh tersebut akibat krisis dan kemiskinan yang terus-menerus menghantam rakyat Venezuela dan disisi lain semakin mengelu-elukan Chavez sebagai alternatif pemimpin yang membawa angin segar perubahan dan kesejahteraan. Perubahan demi rakyat, kesejahteraan di bawah panji-panji sosialisme. Babak baru sejarah kemenangan rakyat di Venezuela-pun telah dimulai.

Di bawah kepemimpinan Chavez, perombakan sistem dan kebijakan-kebijakan ekonomi-politik Venezuela muilai dilakukan dengan menerbitkan konstitusi baru yang tentunya lebih mencerminkan keberpihakan dan kepentingan mayoritas rakyat Venezuela. Undang-undang Bolivarian, begitu konstitusi ini sering disebut, Yang mengatur tentang hak dasar rakyat serta bagaimana demokrasi patisipatoris benar-benar harus diwujudkan secara total dibawah kontrol rakyat sendiri. Di dalam UUD tersebut tertuang jelas bagaimana negara menjamin hak rakyat atas tanah dalam makna distribusi secara merata kepada rakyat Venezuela.

Hal yang paling fenomenal yang dilakukan oleh Chavez adalah melakukan kontrol atau Nasionalisasi total terhadap perusahaan minyak negara (PDVSA) untuk didistribusikan secara menyeluruh untuk kepentingan kesejahteraan rakyat Venezuela. Hal terebut tentu mendapat reaksi negatif dari para pengusaha borjuasi Venezuela yang diback-up oleh Amerika yang berkepentingan terhadap aset minyak Venezuela. Percobaan kudeta terhadap Chavezpun dilakukan oleh tokoh-tokoh oposisi yang notabene adalah para kaum mapan (baca; Borjuasi) yang disokong oleh kekuatan militer yang tentunya diskenarioi oleh amerika melalui badan intelijen-nya (CIA). Selama 48 jam, kudeta atau pemngambil alihan kekuasaan oleh kekuatan borjuis-reaksioner terjadi dibawah pimpinan Assosiasi pengusaha nasional (FEDECAMARAS) antek Imperialis Pedro Carmone. Pembubaran kabinet, pencabutan Konstitusi Bolivarian sampai pembubaran Ombudsmen adalah langkah-langkah yang dilakukan oleh kekuatan borjuis-reaksioner yang dianggap Chavez sebagai tindakan kontra-revolusi.

Namun sejarah berkata lain, tingkat kesadaran massa rakyat menggelembung cepat menyadari bahaya kembalinya kekuatan pro-Imperialis tersebut. Jutaan massa pro-Chavez, Pro-Demokrasi mengepung istana presiden meminta kembalinya Chavez dan memberlakukan kembali konstitusi Bolivarian yang Pro-Rakyat. Drama kudetapun berakhir selama 48 jam yang ditandai kembalinya Chavez ditampuk kekuasaan yang berarti kemenangan rakyat Venezuela, kemenangan demokrasi dan Sosialisme Venezuela.

Perjalanan babak sejarah rakyat Venezuela membuktikan bahwa hanya dengan kekuatan rakyat terorganisirlah yang mampu menciptakan demokrasi sejati demi terwujudnya Sosialisme Sejati.

Situasi terakhir di Venezuela sendiri pasca referendum mengenai presiden semumur hidup ditolak, kekuatan Chavez tetap tak tergoyahkan dari segala upaya dan hantaman imperialism Amerika yang mencoba menggoyahkannya. Propaganda hitam (black campaigne) yang terus dihembuskan Amerika terhadap Chavez sama sekali tidak membuat rakyat venezuela menanggalkan dukungannya terhadap Chavez. Sekali lagi, ini merupakan buah konsistensi Chavez dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seantero Rakyat Venezuela. Bahkan yang paling menggakan adalah, dukungan serta solidaritas terahdap perjuangan (baca ; revolusi untuk sosialisme) Venezuela terus mengalir, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dengan terbangunnya komunitas “Hands Of Venezuela (HOV)”. Upaya ini dimaksudkan agar perjuangan Negara-negara dunia ketiga tidak terpisah-pisah dan terorganisir dengan rapid an terpimpin.

Panggung Elektoral : Strategi Gerakan Rakyat Brazil Menuju Kekuasaan
Bertahun-tahun perlawanan rakyat terus terlontar dari panah kemarahan rakyat akibat situasi ekonomi serta krisis politik yang terjadi dan berlangsung tanpa henti. Metodelogi yang digunakanpun sangat tergantung dari perkembangan situasi objektif di masing-masing negara. Tingkat perlawanan tentulah tidak hanya terhenti hanya sebatas menggugat dan menolak suatu kebijakan ekonomi-politik yang tidak pro terhadap rakyat, namun jika kita memandang suatu persoalan secara sitematis dan objektif, maka kita akan menemukan bahwa akar dari segala akar persoalan muncul dari bangunan sistem kekuasaan yang tentunya lebih mengabdi kepada segelintir orang yang kita sebut pemilik modal yang pada sisi yang lain telah mengeruk keringat serta memeras tenaga rakyat pekerja sebagai jalan kekuasaannya. Maka perjuangan dan perlawanpun harus diarahkan kepada pemenangan rakyat terhadap sisitem kekuasaan yang ada.

Begitu halnya dengan rakyat Brazil yang memilih memainkan peran dalam konteks demokrasi liberal dengan strategi elektoral menuju jalan kemenangannya. Kemengan Lula Ignasio Da Silva adalah langkah awal Brazil menuju sistem negara yang sepenuhnya mengabdikan kebijakan-kebijakannya kepada rakyat khususnya kelas pekerja dan kaum tani tak berpunya.

Akar tonggak berdirinya Babak sejarah perlawanan rakyat Brazil menuju kemenangan dimulai dari pembangunan wadah-wadah perlawanan rakyat yang secara teritorial berangkat dari wilayah pedesaan yang lebih besar populasi penduduk berbasis petani tak bertanahnya. Problem-problem pedesaan yang berangkat dari hubungan produksi kepemilikan tanah yang banyak mengeksploitasi para buruh-buruh tani atau pekerja pertanian yang tak bertanah, maka arah perjuangan para tani-tani tak bertanah tersebut memuncak pada tuntutan distribusi tanah dan pembagian hasil produksi secara adil. Merekapun lalu membentuk wadah-wadah perlawanan yang pada akhirnya mampu menghimpun perlawanan gerakan kaum tani tak bertanah (people landless movement) secara rapi, terstruktur dan militan dalam sebuah bangunan organisasi tani yakni Movimento dos Sem Terra atau yang lebih dikenal dengan sebutan MST yang sekarang menjadi organisasi perlawanan yang mempunyai basis yang menguasai hampir 60 % petani yang tersebar diseluruh Brasil.
Para kader-kader militan MST menyadari bahwa tuntutan perjuangan yang akan menghantarkan kemenagan total rakyat tentu tidak hanya berkubang diteritorial pedesaan. Namun perjuangan tersebut mestilah menggunakan piont politik diperkotaan sebagai gerbong partisipasi politik untuk semakin menarik dukungan luas dan memantapkan strategi-taktik perjuangan menuju terbangunnya prinsip demokrasi kerakyatan yang seutuhnya mengabdi kepada rakyat Brasil. Maka, MST meskipun secara prinsip merupakan organisasi independen, menjalin hubungan dan kerjasama dengan Partido do Trabalhadores (PT) yakni partai politik pimpinan Lula Ignacio Da Silva sebagai jembatan politik menuju kemenangan rakyat melalui perjuangan Elektoral.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kemenangan Lula Da Silva pada pemilu Brazil tahun 2003 adalah berkat sokongan politik dari MST. Bahkan pengurus-pengurus PT dari desa sampai tingkat nasional sebagian besar adalah kader-kader MST. Secara umum, hubungan MST dan PT adalah hubungan politik yang berwatak kritis, dinamis dan demokratis. MST melihat bahwa PT adalah alat politik yang paling progresif dalam menggolkan tuntutan-tuntutan kesejahteraan rakyat dalam sistem politik elektoral sebagai wujud pertarungan pada ranah demokrasi liberal di Brazil.

Namun, kemenangan Lula Da Silva tidaklah membuat MST berpikir bahwa pemerintahan lula akan secara cepat melahirkan perubahan fundamental mengingat kemenangan tersebut tidak diperoleh secara mutlak dari rakyat, akan tetapi adanya kompromi dan kerjasama politik dari kelompok tengah-demokrat yang notabene hanya berkepentingan akan kue kekuasaan semata. Keraguan akan pemerintahan yang akan tetap terseret dalam pusaran ekonomi global pro-pasar bebas dengan trend Neo-Liberlismenya adalah beralasan mengingat aliansi taktis tersebut. MST bahkan hari ini menjelma menjadi kekuatan oposisi yang tetap memelihara watak dan karakter revolusionernya dan menggunakan gelombang massa yang terorganisir dalam memperjuangkan kepentingan rakyat Brazil. Apalagi pemerintahan Lula Da Silva mulai bergeser dan tenggelam dalam konteks perekonomian imperialis secara integral dengan masih mempraktekkan konsesi-konsesi ekonomi Neo-Liberal yang merugikan rakyat Brazil. Faktualnya, Gerakan MST tetap harus berjalan dalam koridor kesetiaanya terhadap politik pengorganisiran massa sebagai jalan mencapai kemenangan sejati rakyat. Hal tersebut harus dilihat dan dipahami sebagai proses politik rakyat Brazil dalam mencapai tahapan-tahapan kemenangan secara gradual namun semakin memberikan kepercayaan politik yang besar dalam penentuan sejarah kemenangan rakyat dan Sosialisme berikutnya.

Lantas bagaimana dengan Indonesia sendiri?
Hingga saat ini kekuatan rakyat masih terlalu dini untuk dikatakan matang untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan imperialisme dan antek-anteknya. Kekuatan rakyat harus mampu menguji perjaungan secara multi-sektor dengan melatih pertempuran dengan persatuan sebagai alat utamnya. Buruh, tani, miskin kota, intelektual, harus mampu melakukan praktek penguatan gerakan rakyat secara terpimpin. Kondisi ekonomi yang kian memprihatinkan, seharusnya mampu untuk diolah sebagai sebuah senjata pemantik kemarahan rakyat. Meluasnya protes kontrak dan outsourcing dikalangan buruh, harga gabah petani yang semakin murah akibat liberalisasi impor pangan, kian mahalnya penidikan bagi mahasiswa dan pelajar akibat praktek swastanisasi, penggusuran yang semakin marak dialami oleh miskin kota, serta sejumlah persoalan pokok rakyat lain yang semakin bertumpuk, menjadi senjata bagi meluasnya protes rakyat. Persoalannya sekarang adalah, tinggal bagaimana kita mengolahnya dengan baik agar mampu melahirkan sebuah kekuatan yang mampu merobek dinding kedzaliman penguasa.

*Penulis adalah anggota PRP Komite Kota Persiapan Samarinda

Burma ; Tragedi Kemanusiaan Yang Tak Pernah Reda

Minggu, 28 Oktober 2007

(Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di harian Tribun-Kaltim)

"Peluru tidak akan mampu membungkam perlawanan Rakyat Burma. Demokrasi dan keadilan untuk Rakyat, adalah kata mati yang harus terus diperjuangkan meski harus meneteskan darah dan air mata". (Aung Saan Suu Kyi).

Aksi demonstrasi besar-besaran yang digelar ribuan rakyat Burma diruas-ruas jalan kota Yangon (dulunya bernama Rangoon), hingga kini masih terus berlangsung. Aksi ini merupakan aksi protes yang telah berlangsung sejak lama. Tujuan utamanya adalah, perjuangan penegakan demokrasi serta pemulihan hak-hak dasar rakyat Burma secara penuh, yang selama ini telah dikubur dalam-dalam oleh rezim militer Burma dibawah pimpinan jenderal “Than Shwe”.

Aksi yang telah berlangsung sejak tanggal 15 september lalu ini, tercatat telah memakan korban jiwa sebanyak 13 orang, dan ribuan lainnya ditangkap, ditahan dan dibui dipenjara “Insein” yang teletak di kota Yangon. Salah satu korban adalah seorang wartawan (fotografer) dari Jepang, Kenji Nagai (50 thn) yang bekerja untuk APF Tsushin News yang berbasis di Tokyo. Kenji baru dua hari berada di Burma. Foto-foto yang beredar di internet memperlihatkan Kenji terjerambap di jalan sambil mengangkat kamera dan seorang tentara menodong jurnalis itu dengan penuh amarah.

Aksi yang diorganiser oleh kelompok perlawanan para Biksu yang bernama “Union Of The Monk” ini, tidak bisa dipungkiri telah menjadi momok yang menakutkan bagi junta militer yang berkuasa di Burma. Slogan dan jargon-pun bergema diseluruh pelosok negeri Burma, yang tentu saja dikomandoi oleh para biksu dibarisan terdepan demonstran. "Untuk mengenyahkan rezim setan yang menjadi musuh bersama dari bumi Burma untuk selamanya, keikutsertaan massa diperlukan untuk bergabung dengan rohaniwan." demikian pernyataan Union of the monk, lantang. "Kami menyatakan despotisme (system kerajaan lalim) junta militer setan, yang memiskinkan rakyat dan menekan semua lapisan masyarakat, termasuk rohaniwan, menjadi musuh bersama semua masyarakat," demikian lanjutan pernyataan para biksu.

Junta militer Burma memang telah berada di luar batas kamanusiaan memperlakukan rakyat Burma. Aksi dan demonstrasi, ditanggapi membabi buta dengan senjata. Tak hanya itu, junta militer Burma juga melakukan pemberangusan media dan isolasi komunikasi yang dilakukan untuk menghambat arus informasi. Pemimpin perjuangan demokrasi Burma, Aung Saan Suu Kyi juga digelandang dari rumah tahanannya ke penjara Insein. Peta jalan demokrasi (Road Map To Democracy) yang sedari dulu diharapkan menjadi solusi damai di Burma makin jauh dari kenyataan. Pihak junta militer selalu ingkar janji, bahkan ogah melepaskan Aung Saan Suu Kyi, meski telah mendapatkan tekanan dari dunia internasional. Meski telah menelan korban, namun aksi tersebut semakin meluas dan telah membuka medan pertempuran bagi Rakyat Burma yang telah sekian lama mendambakan kebebasan dan penjajahan yang dilakukan bangsanya sendiri di bawah pemerintahan junta militer yang berkuasa.


Junta Militer Burma ; Musuh Demokrasi


Rezim militer yang sedang berkuasa di Burma selama 45 tahun hingga sat ini, atau yang sering kita sebut dengan Junta militer, telah merampas dan menutup rapat-rapat keran demokrasi tanpa kekerasan yang selama ini didambakan oleh rakyat Burma. Junta militer Burma, yang berkuasa sejak tahun 1962, secara membabi buta dan sepihak telah membatalkan hasil pemilu demokratis pada tahun 1990, yang dimenangkan oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung Saan Suu Kyi (yang hingga kini menjadi orang nomor satu ditakuti oleh junta militer). Saat itu, Suu Kyi dan NLD mendapatkan dukungan lebih dari 80 persen rakyat Burma dalam pemilu legislative yang berlangsung tertib, damai dan demokratis sepanjang sejarah politik Burma. Peristiwa tersebut, merupakan menjadi masa depan kelam penegakan demokrasi, bukan hanya di Burma, tapi juga bagi dunia.

Dalam ilmu politik, hampir semua teori mengamini peranan penting dari kekuatan bersenjata (Baca ; militer). Namun secara prinsip, kekuatan militer seharusnya memposisikan diri sebagai lembaga yang integral dengan kehendak dan keinginan rakyat. Bukan malah sebaliknya, kekuatan militer tidak boleh berdiri sendiri sebagai satu unit kerja yang terpisah dari rakyat-nya (Standing Institution), yang secara poltik tentunya diuntungkan oleh persenjataan yang dimlikinya. Konsepsi dan perdebatan mengenai militer dan peran politiknya, hingga kini sebebarnya telah usai. Dimana setiap kesimpulan yang menguat adalah, “jika militer berkuasa, maka darah dan air mata akhir dari segala-galanya”. Kasus Burma, mengajarkan kepada kita bahwa kekuasaan yang diambil alih oleh kekuatan junta militer selama bertahun-tahun, hanya melahirkan pertumpahan darah dimana-mana. Protes, perbedaan pendapat dan demonstari, diartikan sebagai bentuk pembangkangan dan ketidakpatuhan terhadap penguasa, hak politik rakyat (civilian political rights) semakin diremukkan oleh junta militer yang berkuasa demi mempertahankan kekuasaan meski dengan atau tanpa dukungan dari rakyat.

Idealnya, kekuatan militer secara utuh hanya bertugas menjaga pertahanan dari Negara terhadap ancaman dari luar yang kemungkinan mengganggu kedaulatan bangsa, urusan pemerintahan adalah tugas dan kewajiban dari warga sipil. Kita tentu masih terngiang dengan perjuangan rakyat Indonesia pada saat momentum reformasi 9 tahun yang lalu. Salah satu tuntutan mendesak ketika itu adalah pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Hal ini menjadi penting artinya, sebab jika militer masih merambah dunia politik, maka niscaya demokratisasi hanya akan menjadi mimpi bagi rakyat Indonesia. Hal ini sama persis dengan tuntutan rakyat Burma, kehendak untuk menjatuhkan junta militer, adalah keharusan yang harus diperjuangkan jika demokrasi ingin ditegakkan secara utuh. Kebebasan politik, pers dan kemanusiaan hanya bisa terwujud tanpa kekuatan militer yang begitu dominan dalam panggung politik pemerintahan Burma.


Tragedi Genocide, dan Matinya Proses Hukum.

Tragedi kemanusiaan di Burma telah menjadi pusat perhatian dunia. Cara-cara Barbarian yang dilakukan oleh junta militer Burma terhadap rakyatnya sendiri, merupakan tragedy genocide yang telah membunuh hak-hak hidup dari Rakyat Burma. Ini mengingatkan kita dengan pembantaian massal terhadap kaum Yahudi yang dilakukan “Adolf Hitler” di Jerman, atau “Soeharto” dizaman awal Orde Baru yang telah membantai jutaan manusia dan memenjarakan yang masih hidup tanpa proses pengadilan sedikitpun.

Cara ampuh yang digunakan oleh junta militer Burma, adalah intimidasi psikologis terhadap rakyat. Penangkapan dan penahanan terhadap lawan-lawan politiknya serta para demonstranpun, dilakukan tanpa mengindahkan aspek hukum dan keadilan. Pemenjaraan terhadap rakyat, yang dominan adalah biksu, dilakukan tanpa proses pengadilan. Mereka yang ditahan, diadili dengan pengadilan khusus dan instan, yang notabene merupakan pengadilan yang jaksa dan hakim-nya adalah junta militer sendiri. Jika demikian adanya, bukankah ini adalah tontonan yang pilu dan memalukan? Bagi junta militer Burma, hukum dan pengadilan sama sekali tidak ada dalam kamus mereka. Sisi kemanusiaan hanya dijadikan tertawaan, keadilan dan kesejahteraan hanya menjadi milik mereka yang berkuasa.

Yang lebih parahnya lagi, junta militer tidak menghargai sama sekali keyakinan serta simbolisasi keagamaan di Burma. Para Biksu yang ditangkap dan dipenjarakan, dipaksa untuk melepas pakaiaan (jubah) Biksu yang dikenakan, dan menyuruhnya memakai seragam tahanan yang tak ubahnya tahanan kriminal lainnya. Biksu merupakan komunitas yang menjadi simbol yang paling dimuliakan di Burma. Memaksa melepas jubah Biksu yang dikenakan (apalagi di bawah todongan senjata), adalah bentuk penghinaan terhadap symbol keagamaan di Burma. Pagoda (tempat-tempat suci ummat budha), dimasuki dengan tidak terhormat oleh para pasukan junta militer. Bahkan tak sedikit, benda atau barang-barang

Kembalikan Hak-Hak Rakyat Burma

Persoalan perampasan hak kemanusiaan oleh junta militer yang tengah terjadi di Burma, adalah persoalan yang bukan hanya tanggung jawab Rakyat Burma untuk memperjuangkannya, namun menjadi tanggung jawab dunia internasional, termasuk Indonesia sendiri. Membiarkan tragedy kemanusiaan ini terus berlangsung di Burma, sama saja kita memposisikan diri sebagai orang yang meniginjak-injak hak-hak saudara-saudara kita disana.

Pemerintah Indonesia hingga kini, tidak mampu bersikap tegas terhadap penyelesaian politik Burma. Indonesia bahkan mengambil sikap abstain dalam pengambilan keputusan Resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai Burma Di tingkat ASEAN, Indonesia juga tidak berani mengambil inisiatif yang progresif untuk penyelesaian masalah Burma yang selalu menjadi persoalan pelik di ASEAN. Untuk itu, perlu ada upaya untuk mendorong perubahan sikap politik pemerintah ini terhadap krisis politik yang terjadi di Burma, agar Pemerintah Indonesia lebih berani bersikap pro aktif dalam penyelesaian politik Burma.

Indonesia sebagai Ketua Dewan Keamanan PBB, seharusnya lebih mampu mendorong adanya resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mengecam tindak kekerasan junta militer Burma dan segera mengirim Special Envoy untuk investigasi kekerasan tersebut. Dalam posisinya sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Indonesia juga harus mendukung segala inisiatif untuk penyelesaian masalah Burma dalam koridor demokrasi dan hak asasi manusia. Secara territorial di tingkat ASEAN, Indonesia juga harus berani menjadi pionir untuk mengeluarkan junta militer Myanmar dari keanggotaan ASEAN hingga ada penyelesaian politik yang demokratis di Burma. Sikap lunak selama ini yang tetap mempertahankan Burma dikeanggotaan ASEAN, hanya akan memberikan angin segar bagi junta milter berkuasa di Burma untuk tetap mendapatkan dukungan Negara-negara ASEAN, yang berarti ikut membenarkan tragedy kemanusiaan yang terjadi di Burma.


Catatan : Penulis lebih memilih untuk menyebut Negara Nyanmar dengan sebutan “BURMA”, sebagai simbolisasi dukungan terhadap rakyat Burma yang sedang berjuang hingga kin demi penegakan demokrasi.