Akhir tahun kemarin, jagad persilatan gerakan buruh diwarnai peristiwa menarik. Saat itu, 23 November 2009, berlangsung “Trade Unions Meeting for Political Consensus” atau TUMPOC yang digagas oleh Konfederasi Serikat Buruh
Tampilkan postingan dengan label Peburuhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Peburuhan. Tampilkan semua postingan
Tentang Konsensus Serikat Buruh Kuning (Tanggapan untuk Surya Tjandra)
Kamis, 04 Februari 2010 Time post : 1:59:00 PM
Posted By :
Zoom Magazine
3
Responses
Categories :
Artikel,
Peburuhan,
Politik
Read more This article Here
KASBI menilai para Capres lebih Pro pengusaha
Senin, 29 Juni 2009 Time post : 10:21:00 AM
Ia meneriakkan agar pemerintah memperhatikan nasib buruh Indonesia yang terindas karena undang undang tenaga kerja lebih berpihak pada pengusaha daripada pekerja. Menurut dia, diberlakukannya sistem kontrak dan pekerja lepas atau "outsourching" merupakan bukti bahwa pemerintah lebih berpihak pada pengusaha daripada pekerja. Seperti dilansir Antara, KASBI meminta pemerintah bisa memperbaiki nasib pekerja dengan menghapus sistem kerja kontrak dan tenaga "outsourching". Dalam selebaran yang disebarkan para pengunjuk rasa menuliskan, bukti keberpihakan pemerintah kepada pengusaha adalah dengan menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) empat menteri pada Oktober 2008. SKB tersebut berisi tentang pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global yang menunjukkan pemerintah lebih berpihak kepada kaum pemodal daripada kaum buruh.
Sebelumnya, para pengunjuk rasa melakukan aksi di Bundaran Hotel Indonesia pada sekitar pukul 12:30 hingga 13:00 WIB. Mereka kemudian berjalan menyusuri Jl MH Thamrin, sebelum melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara. Salah seorang pengunjukrasa, Eko dari Serikat Buruh Karya Utama (SBKU) mengatakan, para pengunjuk rasa berasal dari sejumlah serikat pekerja yang tergabung dalam KASBI di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Karawang, dan Serang. "Kami datang dari daerah masing masing dan bertemu di Bundaran Hotel Indonesia tadi siang," katanya.
Sumber : www.tvone.co.id
Akhirnya ada juga bagian dari Caddy Golf, yang menarik perhatian saya!
Rabu, 20 Mei 2009 Time post : 8:13:00 PM
Setelah sekian waktu, popularitas “caddy golf” ramai diberitakan, akhirnya ada juga aspek yang menarik perhatian saya. Caddy merupakan sebutan bagi mereka yang bertugas membawa pelengkapan (bola, stick, dll) di lapangan golf. Terlepas dari caddy yang dikait-kaikan dengan kematian Nazruddin Zulkarnaen (yang juga turut menyeret Ketua KPK non-aktif, Antasari Azhar), profesi ini merupakan salah satu bentuk hubungan kerja antara buruh dan pengusaha. Hal inilah yang terlupakan oleh banyak pihak, termasuk media massa, ketika memberitakan profesi tersebut. Terlebih lagi setelah kenyataan pahit yang dialami oleh 2 orang caddy di Modernland Golf-tangerang, yang di PHK hanya karena mengeluarkan pendapat terkait profesin ya di sebuah stasiun TV swasta beberapa waktu yang lalu. Bahkan alas an PHK tersebut tidak disertai dengan alasan yang jelas dari pihak perusahaan.
Menurut pengakuan seorang caddy golf yang di wawancarai ; mereka pada umumnya hanya berpenghasilan paling besar Rp. 800.000,- dalam sebulan. Hitungannya berdasarkan dari sekali menemani pemain, dengan pendapatan Rp. 44.000,-/sekali main. Ini tentu memberikan kesimpulan awal, bahwa caddy dalam relasi insutrial, tidak berjalan dalam koridor perlindungan layaknya seorang buruh/pekerja sebagaimana yang diatur dalam regulasi/aturan hokum ketenagakerjaan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perlindungan dalam 2 hal, yakni ; pertama, upah dan kedua, kebebasan berekspresi/berpendapat.
Pendapatan sebesar 800 rb, jelas sangat di bawah Upah Minum yang resmi ditetapkan Pemerintah. Tidak habis piker, bahwa ditengah popularitas caddy golf yang diberitakan oleh media, tersimpan petirnya hidup dan perihnya nasib, akibat praktek upah murah tersebut. Sungguh sangat menyedihkan kondisi perburuhan kita. Disamping praktek upah murah ini, kebebesan berekspresi dan berpendapat juga tertutup rapat bagi mereka. Kenyataan hak asasi yang sungguh sangat tidak sedap dipandang mata. Namun tentu lika-liku nasib caddy ini bukan hanya untuk dikonsumsi dan diperbincangkan saja, akan tetapi diperlukan suatu tindakan nyata untuk memperbaiki nasib pekerja caddy golf ini. Langkah tersebut harus kita mulai dari beberapa hal, yakni ; pertama, perlu ada pemahaman masyarakat luas bahwa profesi caddy golf tidak boleh hanya sebatas dipersonafikasikan sebagai pelengkap areal perusahaan jasa golf. Caddy juga tidak hanya sebatas profesi yang cenderung dikatakan dayang/pembantu/selir ataupun serep yg setia menemani seorang pemain golf, bahkan tak jarang caddy didentikkan dengan profesi gelap yang centil dan penggoda. Ini jelas pandangan yang salah. Profesi caddy golf seharusnya juga kita mampu maknai sebagai seorang buruh/pekerja yang tentu memerlukan perlindungan terhadap hak-haknya, khususnya dalam hal upah dan kebebasan berpendapat. Kedua, karena ini tidak menjadi permasalahan seorang caddy, namun semua yang memiliki pekerjaan yang sama, maka dibutuhkan bangunan perkumpulan caddy golf yang secara spesifik bertanggung jawab untuk memperjuangkan hak-hak caddy golf sebagai pekerja yang memiliki relasi kerja dengan pengusaha. Tanpa perkumpulan/organisasi/serikat, maka caddy golf-pun akan sangat mudah diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Ketiga, diperlukan solidaritas dari sesame pekerja. Ini adalah sugesti/semangat yang sangat luar biasa bagi caddy golf yang selama ini diperlakukan tak adil oleh perusahaan. Sesungguhnya dimanapun pekerja itu berada, apapun jenis pekerjaannya, dan darimanapun asalnya, kita tetap satu yakni ; Buruh/Pekerja yang tentu menghadapi masalah dan musuh yang sama….
Hidup caddy golf….hidup kaum pekerja Indonesia……
NB : Tulisan singkat ini saya persembahkan buat Bung Musrianto (KASBI), yang baru aja nongol di TV meski cuma sebentar.
Menurut pengakuan seorang caddy golf yang di wawancarai ; mereka pada umumnya hanya berpenghasilan paling besar Rp. 800.000,- dalam sebulan. Hitungannya berdasarkan dari sekali menemani pemain, dengan pendapatan Rp. 44.000,-/sekali main. Ini tentu memberikan kesimpulan awal, bahwa caddy dalam relasi insutrial, tidak berjalan dalam koridor perlindungan layaknya seorang buruh/pekerja sebagaimana yang diatur dalam regulasi/aturan hokum ketenagakerjaan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perlindungan dalam 2 hal, yakni ; pertama, upah dan kedua, kebebasan berekspresi/berpendapat.
Pendapatan sebesar 800 rb, jelas sangat di bawah Upah Minum yang resmi ditetapkan Pemerintah. Tidak habis piker, bahwa ditengah popularitas caddy golf yang diberitakan oleh media, tersimpan petirnya hidup dan perihnya nasib, akibat praktek upah murah tersebut. Sungguh sangat menyedihkan kondisi perburuhan kita. Disamping praktek upah murah ini, kebebesan berekspresi dan berpendapat juga tertutup rapat bagi mereka. Kenyataan hak asasi yang sungguh sangat tidak sedap dipandang mata. Namun tentu lika-liku nasib caddy ini bukan hanya untuk dikonsumsi dan diperbincangkan saja, akan tetapi diperlukan suatu tindakan nyata untuk memperbaiki nasib pekerja caddy golf ini. Langkah tersebut harus kita mulai dari beberapa hal, yakni ; pertama, perlu ada pemahaman masyarakat luas bahwa profesi caddy golf tidak boleh hanya sebatas dipersonafikasikan sebagai pelengkap areal perusahaan jasa golf. Caddy juga tidak hanya sebatas profesi yang cenderung dikatakan dayang/pembantu/selir ataupun serep yg setia menemani seorang pemain golf, bahkan tak jarang caddy didentikkan dengan profesi gelap yang centil dan penggoda. Ini jelas pandangan yang salah. Profesi caddy golf seharusnya juga kita mampu maknai sebagai seorang buruh/pekerja yang tentu memerlukan perlindungan terhadap hak-haknya, khususnya dalam hal upah dan kebebasan berpendapat. Kedua, karena ini tidak menjadi permasalahan seorang caddy, namun semua yang memiliki pekerjaan yang sama, maka dibutuhkan bangunan perkumpulan caddy golf yang secara spesifik bertanggung jawab untuk memperjuangkan hak-hak caddy golf sebagai pekerja yang memiliki relasi kerja dengan pengusaha. Tanpa perkumpulan/organisasi/serikat, maka caddy golf-pun akan sangat mudah diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Ketiga, diperlukan solidaritas dari sesame pekerja. Ini adalah sugesti/semangat yang sangat luar biasa bagi caddy golf yang selama ini diperlakukan tak adil oleh perusahaan. Sesungguhnya dimanapun pekerja itu berada, apapun jenis pekerjaannya, dan darimanapun asalnya, kita tetap satu yakni ; Buruh/Pekerja yang tentu menghadapi masalah dan musuh yang sama….
Hidup caddy golf….hidup kaum pekerja Indonesia……
NB : Tulisan singkat ini saya persembahkan buat Bung Musrianto (KASBI), yang baru aja nongol di TV meski cuma sebentar.
Outsourching dan masa depan kaum buruh Indonesia
Jumat, 06 Juni 2008 Time post : 7:29:00 PM
"Buruh dan industri, adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Tanpa Buruh, mesin-mesin di pabrik sana, hanyalah besi tua yang berkarat. Maka, sungguh naïf jika Negara menafikan posisi kaum buruh sebagai tulang punggung perekonomian".
Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum ketenagakerjaan. Termasuk logika ekonomi kapitalistik, dimana hubungan produksi serta tenga kerja, dikembangkan secara ekspolitatif, telah memberikan perubahan mendasar pada tatanan sistem masyarakat dunia. Robert A. Nisbet dalam bukunya: “Social Change and History”, menyebutkan bahwa, “perubahan di dalam susunan masyarakat yang disebabkan oleh munculnya golongan buruh. Demikian halnya dengan pengertian hak milik yang semula mengatur hubungan yang langsung dan nyata antara pemilik dan barang, juga mengalami perubahan karenanya”. Sifat-sifat kepemilikan menjadi berubah, oleh karena sekarang “Barang siapa yang memiliki alat-alat produksi bukan lagi hanya menguasai barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia yang hidup sebagai buruh” .
Dari sinilah landasan awal mengapa dan kenapa nasib pekerja hingga hari ini masih menjadi hal yang mutlak ditentukan sepenuhnya oleh pengusaha. Pekerja menjadi manusia yang tidak bebas, pekerja menjadi layaknya seorang budak yang hidup matinya ditentukan oleh pemiliki modal. Bahkan dewasa ini, muncul trend baru ketengakerjaan yang hakikatnya merupakan wujud legal dari perdagangan manusia oleh manusia layaknyanya barang dagangan (trafficking). Inilah yang sering diistilahkan dengan model dan bentuk sistem kerja fleksibel yang kita sebut dengan, “Outsourcing”.
Istilah outsourcing belakangan ini memang sering diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik mereka yang menganjurkan sistem kerja ini dipraktekkan dalam perusahaan, maupun mereka yang menolaknya dengan anggapan outsourcing merupakan wujud dari pengingkaran serta penghilangan hak-hak dasar pekerja. Outsourcing sendiri mulai ramai diperdebatkan d Indonesia, pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, dimana aturan tersebut ditengarai sebagai palang pintu lahirnya sistem kerja outsourcing yang sekarang dipraktekkan dimana-mana. Sebenarnya, didalam undang-undang ini, tidaklah mengenal penyebutan istilah outsourcing. Akan tetapi, pengertian dari outsourcing itu sendiri dapat dilihat dalam bebera ketentuan. Salah satunya adalah yang tertuang dalam pasal 64 Undang-undang ketengakerjaan ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing merupakan suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Sementara dalam konteks hukum, pada pasal 1601 b KUH-Perdata, outsoucing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing secara tersirat dapat diartikan sebagai sebuah perjanjian, dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Outsourcing sendiri secara harfiah berasal dari kata “out” yang berarti keluar dan “source” yang berarti sumber. Dari pengertian tersebut, maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu ; suatu bentuk perjanjian kerja sama antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang, namun upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B kepada tenga kerja yang disuplay. Tenaha kerja inilah yang disebut dengan pekerj outsourcing. Nah, yang menjadi pertanyaan mendasar sekarang adalah, perusahaan mana yang bertanggung jawab terhadap pekerja outsourcing? Pekerja outsourcing memang disalurkan oleh penyedia jasa, akan tetapi pekerja outsourcing tersebut berhadapan dengan resiko pekerjaan yang akan dialami ditempat dia bekerja. Untuk itu, tulisan ini mencoba sedikit memberikan alasan-alasan mengapa dan kenapa system kerja outsourcing dan kontrak harus kita tolak dalam praktek ketenegakerjaan di Negara kita.
Menelanjangi Kebohongan Pendukung Outsourcing
Berbagai argumentasi yang mengarah kepada pembenaran praktek outsourcing, telah mengemuka dalam masyarakat kita. Bahkan tak sedikit yang terpengaruh, dan berujung dengan kepasrahan untuk menerimanya. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya untuk menelanjangi, “bahwa system kerja outsourcing seperti pembenaran yang mereka lakukan, adalah salah didepan keadilan dan kebebasan pekerja”. Mari kita lihat satu persatu argumen-argumen tersebut.
Pertama, mereka mengatakan bahwa dengan praktek outsourcing, maka akan mampu menyerap lapangan kerja dan mengatasi pengangguran. Argumen ini berdasarkan asumsi bahwa jika pola system kerja outsourcing yang diterapkan, maka secara langsung membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkompetisi. Bahkan bagi mereka yang sebelumnya berada pada sektor informal, dapat terseret kedalam sector formal yang lebih terproteksi dan menjanjikan. Pertanyaannya kemudian, apakah pola ini tidak memerlukan pola adaptasi kerja yang lama?. Inilah salah satu kelemahan system kerja outsourcing ini. Harapan untuk meningkatkan kinerja dan keuntungan perusahaan, justru akan menjadi boomerang dikemudian hari. Misalnya saja seorang pekerja tekstil dengan status outsourcing, tentu akan menjadi gagap ketika harus dengan tiba-tiba disalurkan keperusahaan pertambangan atau alat berat. Begitupun sebaliknya, seorang pekerja tambang, tentu akan merasa terasing ketika tiba-tiba harus dislaurkan kesektor jasa atau retail. Bukankah pola ini justru akan berakibat kontra-produktif terhadap kinerja perusahaan?. Apakah ini yang disebut dengan efektifitas kerja dari pola outsourcing?. Sama sekali tidak…….!!!
Kedua, mereka menganggap bahwa dengan praktek kerja outsourcing, maka pendapatan perusahaan akan lebih maksimal, sehingga tingkat upah pekerja akan lebih terjamin (balance of salary). Ukuran stabilitas internal perusahaan ini lebih dititik beratkan pada asumsi bahwa perusahaan tidak lagi dibebankan untuk memikirkan upah pekerja, namun akan lebih focus untuk mengejar target pasar komoditasnya.
Ketiga, outsourcing akan lebih mampu menyerap tenaga kerja tanpa diskriminasi. Alasan ini lebih kepada mengugat pola praktek perusahaan keluarga (closed corporation) yang lebih mengukur serapan tenaga kerja suatu perusahaan berdasarkan garis keturunan dan hubungan kekeluargaan . Hal ini dianggap menghalangi perusahaan untuk memenuhi mekanisme pasar. Dengan praktek outsourcing, tradisi yang sudah using ini akan secara otomatis terkikis. Secara prinsip, outsourcing akan lebih membuka persaingan tenaga kerja yang lebih kompetitif sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Kenapa Kita Harus Menolak Outsourcing???
Pertama, sistem kerja outsourcing membuat status hubungan kerja buruh menjadi tidak jelas. Misalnya begini ; jika kita bekerja pada perusahaan A (second company), dimana sebelumnya kita disalurkan oleh perusahaan B (parent company), maka ketika terjadi pelaggaran hak-hak normatif (upah dibayar lebih rendah dari UMP/UMK, jam kerja yang berlebihan, lembur yang tidak dibayar, tunjangan hari raya yang tidak diberikan, pelarangan cuti, PHK, dll), maka akan timbul suatu pertanyaan ; kepada siapa kita harus menuntut? Apakah kepada perusahaan A yang mempekerjakan kita, ataukah kepada perusahaan B yang menyalurkan kita?. Ketidakjelasan ini membuat kita sulit dan bingung mengenai hubungan kerja kita. Bahkan lebih parahnya lagi, baik perusahaan A maupun perusahaan B, saling lempar tanggung jawab terhadap tuntutan yang kita inginkan.
Kedua, outsourcing berakibatkan kepada semakin lemahnya posisi buruh dalam perusahaan. Hal tersebut dilator belakangi oleh status kita yang berbentuk hubungan kerja yang sifatnya sementara dengan masa kerja yang ditetapkan selama kurung waktu tertentu (1 tahun, 2 tahun, bahkan ada yang hanya berkisar 3-4 bulan). Hal ini berakibat semakin kuatnya posisi pengusaha jika berhadapan dengan pekerja, sehingga memberikan ruang yang sangat besar bagi pengusaha tersebut untuk menindas buruh dalam perusahaannya. Pengusaha dapat dengan sewenang-wenang memberhentikan buruh (PHK) sesuai dengan kemauannya. Ketakutan berserikat, berkumpul, menuntu perbaikan, serta menyatakan pendapat-pun menjadi terbatasi akibat posisi tawar buruh yang lemah ini, ditambah ancaman PHK yang sewaktu-waktu dapat dilakukan oleh pengusaha.
Ketiga, outsourcing akan menghilangkan hak serta jaminan masa depan buruh. Apa itu jaminan masa depan?. Sederhananya, merupakan jaminan biaya hidup yang harus dihadirkan oleh perusahaan jika suatu saat nanti buruh sudah tidak memiliki produkstivitas kerja yang baik dan maksimal akibat factor fisik (pension), dan atau penghargaan kerja yang menjadi kewajiban pengusaha akibat terputusnya hubungan kerja (PHK). Sebagai contoh ; Jika bagi mereka yang berstatus pekerja tetap berhak mendapatkan Jaminan Hari Tua (JHT), maka yang bekerja dengan status outsourcing tidak berhak mendapatkan apa-apa. Jika pekerja tetap mendapatkan pesangon pada saat terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka pekerja yang berstatus outsourcing jangan pernah berharap akan memperoleh pesangon.
Keempat, outsourcing mempraktekkan dehumanisasi atau pengingkaran hak dasar seseorang layaknya manusia yang bebas dan merdeka. System kerja outsourcing ini sama sekali tidak menghargai buruh layaknya sebagai seorang manusia. Sebab, outsourcing tidak lebih dari bentuk perdagangan manusia kepada manusia lainnya (trafficking). Dimana buruh tak ubahnya seperti barang yang diperjual belikan dengan seenaknya oleh pengusaha.
Kelima, outsourcing akan mengakibatkan tingkat pengangguran yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh syarat kerja outsourcing yang menekankan keterampilan kerja (labour skill) yang kompetitif, sementara kondisi buruh di Indonesia sama sekali belum memadai untuk memiliki keterampilan multi-bidang. Misalnya saja seorang buruh disektor informal yang tiba-tiba harus diserap oleh sector formal, maka akan menjadi kontra-produktif akibat adaptasi yang membutuhkan waktu yang lama.
Keenam, outsourcing akan semakin meminimalisir fungsi dan peran serikat (worker’s organization) dalam perusahaan, bahkan akan dihilangkan sama sekali jika perusahaan menghendakinya. Hal tersebut dikarenakan hubungan kerja kita dalam perusahaan akan lebih bersifat individu, antara pekerja dengan pengusaha. Dengan demikian upaya perjuangan hak dan kepentingan kita melalui serikat, akan semakin terbatasi secara langsung, terlebih ketika ancaman PHK oleh perusahaan semakin mudah dilakukan setiap saat akibat posisi tawar yang lemah tersebut.
Jika praktek outsourcing ini terus terjadi, dan bahkan semakin meluas, maka dapat dipastikan bahwa buruh sepenuhnya akan menjadi sapi perah bagi yang mengupahnya. Buruh tak akan mampu berdiri sendiri sebagai seorang pekerja yang memiliki derajat layaknya seorang manusia yang berhak mendapatkan hak secara jasmani dan rohani.
*Penulis adalah anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Samarinda
dapat dipisahkan satu sama lain. Tanpa Buruh, mesin-mesin di pabrik sana, hanyalah besi tua yang berkarat. Maka, sungguh naïf jika Negara menafikan posisi kaum buruh sebagai tulang punggung perekonomian".
Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum ketenagakerjaan. Termasuk logika ekonomi kapitalistik, dimana hubungan produksi serta tenga kerja, dikembangkan secara ekspolitatif, telah memberikan perubahan mendasar pada tatanan sistem masyarakat dunia. Robert A. Nisbet dalam bukunya: “Social Change and History”, menyebutkan bahwa, “perubahan di dalam susunan masyarakat yang disebabkan oleh munculnya golongan buruh. Demikian halnya dengan pengertian hak milik yang semula mengatur hubungan yang langsung dan nyata antara pemilik dan barang, juga mengalami perubahan karenanya”. Sifat-sifat kepemilikan menjadi berubah, oleh karena sekarang “Barang siapa yang memiliki alat-alat produksi bukan lagi hanya menguasai barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia yang hidup sebagai buruh” .
Dari sinilah landasan awal mengapa dan kenapa nasib pekerja hingga hari ini masih menjadi hal yang mutlak ditentukan sepenuhnya oleh pengusaha. Pekerja menjadi manusia yang tidak bebas, pekerja menjadi layaknya seorang budak yang hidup matinya ditentukan oleh pemiliki modal. Bahkan dewasa ini, muncul trend baru ketengakerjaan yang hakikatnya merupakan wujud legal dari perdagangan manusia oleh manusia layaknyanya barang dagangan (trafficking). Inilah yang sering diistilahkan dengan model dan bentuk sistem kerja fleksibel yang kita sebut dengan, “Outsourcing”.
Istilah outsourcing belakangan ini memang sering diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik mereka yang menganjurkan sistem kerja ini dipraktekkan dalam perusahaan, maupun mereka yang menolaknya dengan anggapan outsourcing merupakan wujud dari pengingkaran serta penghilangan hak-hak dasar pekerja. Outsourcing sendiri mulai ramai diperdebatkan d Indonesia, pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan, dimana aturan tersebut ditengarai sebagai palang pintu lahirnya sistem kerja outsourcing yang sekarang dipraktekkan dimana-mana. Sebenarnya, didalam undang-undang ini, tidaklah mengenal penyebutan istilah outsourcing. Akan tetapi, pengertian dari outsourcing itu sendiri dapat dilihat dalam bebera ketentuan. Salah satunya adalah yang tertuang dalam pasal 64 Undang-undang ketengakerjaan ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing merupakan suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Sementara dalam konteks hukum, pada pasal 1601 b KUH-Perdata, outsoucing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing secara tersirat dapat diartikan sebagai sebuah perjanjian, dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Outsourcing sendiri secara harfiah berasal dari kata “out” yang berarti keluar dan “source” yang berarti sumber. Dari pengertian tersebut, maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu ; suatu bentuk perjanjian kerja sama antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang, namun upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B kepada tenga kerja yang disuplay. Tenaha kerja inilah yang disebut dengan pekerj outsourcing. Nah, yang menjadi pertanyaan mendasar sekarang adalah, perusahaan mana yang bertanggung jawab terhadap pekerja outsourcing? Pekerja outsourcing memang disalurkan oleh penyedia jasa, akan tetapi pekerja outsourcing tersebut berhadapan dengan resiko pekerjaan yang akan dialami ditempat dia bekerja. Untuk itu, tulisan ini mencoba sedikit memberikan alasan-alasan mengapa dan kenapa system kerja outsourcing dan kontrak harus kita tolak dalam praktek ketenegakerjaan di Negara kita.
Menelanjangi Kebohongan Pendukung Outsourcing
Berbagai argumentasi yang mengarah kepada pembenaran praktek outsourcing, telah mengemuka dalam masyarakat kita. Bahkan tak sedikit yang terpengaruh, dan berujung dengan kepasrahan untuk menerimanya. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya untuk menelanjangi, “bahwa system kerja outsourcing seperti pembenaran yang mereka lakukan, adalah salah didepan keadilan dan kebebasan pekerja”. Mari kita lihat satu persatu argumen-argumen tersebut.
Pertama, mereka mengatakan bahwa dengan praktek outsourcing, maka akan mampu menyerap lapangan kerja dan mengatasi pengangguran. Argumen ini berdasarkan asumsi bahwa jika pola system kerja outsourcing yang diterapkan, maka secara langsung membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkompetisi. Bahkan bagi mereka yang sebelumnya berada pada sektor informal, dapat terseret kedalam sector formal yang lebih terproteksi dan menjanjikan. Pertanyaannya kemudian, apakah pola ini tidak memerlukan pola adaptasi kerja yang lama?. Inilah salah satu kelemahan system kerja outsourcing ini. Harapan untuk meningkatkan kinerja dan keuntungan perusahaan, justru akan menjadi boomerang dikemudian hari. Misalnya saja seorang pekerja tekstil dengan status outsourcing, tentu akan menjadi gagap ketika harus dengan tiba-tiba disalurkan keperusahaan pertambangan atau alat berat. Begitupun sebaliknya, seorang pekerja tambang, tentu akan merasa terasing ketika tiba-tiba harus dislaurkan kesektor jasa atau retail. Bukankah pola ini justru akan berakibat kontra-produktif terhadap kinerja perusahaan?. Apakah ini yang disebut dengan efektifitas kerja dari pola outsourcing?. Sama sekali tidak…….!!!
Kedua, mereka menganggap bahwa dengan praktek kerja outsourcing, maka pendapatan perusahaan akan lebih maksimal, sehingga tingkat upah pekerja akan lebih terjamin (balance of salary). Ukuran stabilitas internal perusahaan ini lebih dititik beratkan pada asumsi bahwa perusahaan tidak lagi dibebankan untuk memikirkan upah pekerja, namun akan lebih focus untuk mengejar target pasar komoditasnya.
Ketiga, outsourcing akan lebih mampu menyerap tenaga kerja tanpa diskriminasi. Alasan ini lebih kepada mengugat pola praktek perusahaan keluarga (closed corporation) yang lebih mengukur serapan tenaga kerja suatu perusahaan berdasarkan garis keturunan dan hubungan kekeluargaan . Hal ini dianggap menghalangi perusahaan untuk memenuhi mekanisme pasar. Dengan praktek outsourcing, tradisi yang sudah using ini akan secara otomatis terkikis. Secara prinsip, outsourcing akan lebih membuka persaingan tenaga kerja yang lebih kompetitif sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Kenapa Kita Harus Menolak Outsourcing???
Pertama, sistem kerja outsourcing membuat status hubungan kerja buruh menjadi tidak jelas. Misalnya begini ; jika kita bekerja pada perusahaan A (second company), dimana sebelumnya kita disalurkan oleh perusahaan B (parent company), maka ketika terjadi pelaggaran hak-hak normatif (upah dibayar lebih rendah dari UMP/UMK, jam kerja yang berlebihan, lembur yang tidak dibayar, tunjangan hari raya yang tidak diberikan, pelarangan cuti, PHK, dll), maka akan timbul suatu pertanyaan ; kepada siapa kita harus menuntut? Apakah kepada perusahaan A yang mempekerjakan kita, ataukah kepada perusahaan B yang menyalurkan kita?. Ketidakjelasan ini membuat kita sulit dan bingung mengenai hubungan kerja kita. Bahkan lebih parahnya lagi, baik perusahaan A maupun perusahaan B, saling lempar tanggung jawab terhadap tuntutan yang kita inginkan.
Kedua, outsourcing berakibatkan kepada semakin lemahnya posisi buruh dalam perusahaan. Hal tersebut dilator belakangi oleh status kita yang berbentuk hubungan kerja yang sifatnya sementara dengan masa kerja yang ditetapkan selama kurung waktu tertentu (1 tahun, 2 tahun, bahkan ada yang hanya berkisar 3-4 bulan). Hal ini berakibat semakin kuatnya posisi pengusaha jika berhadapan dengan pekerja, sehingga memberikan ruang yang sangat besar bagi pengusaha tersebut untuk menindas buruh dalam perusahaannya. Pengusaha dapat dengan sewenang-wenang memberhentikan buruh (PHK) sesuai dengan kemauannya. Ketakutan berserikat, berkumpul, menuntu perbaikan, serta menyatakan pendapat-pun menjadi terbatasi akibat posisi tawar buruh yang lemah ini, ditambah ancaman PHK yang sewaktu-waktu dapat dilakukan oleh pengusaha.
Ketiga, outsourcing akan menghilangkan hak serta jaminan masa depan buruh. Apa itu jaminan masa depan?. Sederhananya, merupakan jaminan biaya hidup yang harus dihadirkan oleh perusahaan jika suatu saat nanti buruh sudah tidak memiliki produkstivitas kerja yang baik dan maksimal akibat factor fisik (pension), dan atau penghargaan kerja yang menjadi kewajiban pengusaha akibat terputusnya hubungan kerja (PHK). Sebagai contoh ; Jika bagi mereka yang berstatus pekerja tetap berhak mendapatkan Jaminan Hari Tua (JHT), maka yang bekerja dengan status outsourcing tidak berhak mendapatkan apa-apa. Jika pekerja tetap mendapatkan pesangon pada saat terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka pekerja yang berstatus outsourcing jangan pernah berharap akan memperoleh pesangon.
Keempat, outsourcing mempraktekkan dehumanisasi atau pengingkaran hak dasar seseorang layaknya manusia yang bebas dan merdeka. System kerja outsourcing ini sama sekali tidak menghargai buruh layaknya sebagai seorang manusia. Sebab, outsourcing tidak lebih dari bentuk perdagangan manusia kepada manusia lainnya (trafficking). Dimana buruh tak ubahnya seperti barang yang diperjual belikan dengan seenaknya oleh pengusaha.
Kelima, outsourcing akan mengakibatkan tingkat pengangguran yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh syarat kerja outsourcing yang menekankan keterampilan kerja (labour skill) yang kompetitif, sementara kondisi buruh di Indonesia sama sekali belum memadai untuk memiliki keterampilan multi-bidang. Misalnya saja seorang buruh disektor informal yang tiba-tiba harus diserap oleh sector formal, maka akan menjadi kontra-produktif akibat adaptasi yang membutuhkan waktu yang lama.
Keenam, outsourcing akan semakin meminimalisir fungsi dan peran serikat (worker’s organization) dalam perusahaan, bahkan akan dihilangkan sama sekali jika perusahaan menghendakinya. Hal tersebut dikarenakan hubungan kerja kita dalam perusahaan akan lebih bersifat individu, antara pekerja dengan pengusaha. Dengan demikian upaya perjuangan hak dan kepentingan kita melalui serikat, akan semakin terbatasi secara langsung, terlebih ketika ancaman PHK oleh perusahaan semakin mudah dilakukan setiap saat akibat posisi tawar yang lemah tersebut.
Jika praktek outsourcing ini terus terjadi, dan bahkan semakin meluas, maka dapat dipastikan bahwa buruh sepenuhnya akan menjadi sapi perah bagi yang mengupahnya. Buruh tak akan mampu berdiri sendiri sebagai seorang pekerja yang memiliki derajat layaknya seorang manusia yang berhak mendapatkan hak secara jasmani dan rohani.
*Penulis adalah anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Samarinda
Langganan:
Postingan (Atom)