Kerontokan ekonomi domestik dan menguatnya opurtunisme politik elit borjuis

Jumat, 15 Mei 2009

Krisis keuangan global memberikan efek negatif yang sangat luar biasa terhadap Indonesia. Hal ini ditandai dengan tingkat kekebalan sektor usaha dalam negeri (baca : industri) yang semakin rapuh. Hingga bulan februari 2009, angka PHK telah mencapai 33.444 orang[1]. Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja, Myra M Hanartani. Jumlah pekerja yang kena PHK berasal dari wilayah Sumatera Selatan, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, DI Yogyakarta, dan Papua. Sedangkan untuk jumlah pekerja yang dirumahkan untuk periode yang sama yaitu sebesar 16.029 orang atau meningkat sebesar 4.036 orang (25,2 persen) dari data per 30 Januari yang sebesar 11.993 orang. Pekerja yang dirumahkan tersebut berasal dari Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur[2].

Imbas krisis global memang telah menjangkiti bangunan ekonomi domnestik negara kita. Salah satu fakta krisis yang sedang melanda indonesia, terjadi di tingkat pendapatan ekspor yang semakin merosot, baik ekspor dari sektor migas maupun non-migas. Tingkat ekspor negara kita mulai melemah sejak bulan september-oktober 2008. Pertumbuhan nonmigas dan migas anjlok dari +30% pada bulan september 2008 menjadi 30% pada bulan Januari 2009. Pertumbuhan ekspor migas anjlok lebih hebat dari positif 60% di bulan Agustus 2008, menjadi minus 60% pada bulan Januari 2009[3].

Ditengah krisis yang sedang melanda, elit politik justru memperlihatkan wajah yang sejatinya, yang penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan. Mereka justru sedang berlomba-lomba menabur janji seiring momentum elektoral berlangsung. Lebih parahnya lagi, elit politik justru tidak satupun yang giat memperjuangkan program-program untuk mengatasi krisis, selain stimulus ekonomi Pemerintah yang tak lain juga diserap dari utang baru.

Belakangan ini, khusnya pada masa kampanye Pemilu 2009, para elit politik borjuasi[4] menjadi ambigu atau berwajah dua. Satu sisi berpura-pura baik dihadapan rakyat, namun disisi lain dibalik kabaikan itu terbungkus keserakahan yang sangat luar biasa. Elit politik borjuis, yang dulunya lantang mempropagandakan sistem ekonomi neo-liberal dan pasar bebas sebagai satu-satunya pilihan dalam membangun negara dan masyarakat, justru hari ini berbalik arah 180 derajat. Kampanye elit soal nasionalisasi perusahaan asing, anti neo-liberalisme, penguatan sistem ekonomi domestik, dll, terasa begitu akrab dimedia-media hari ini. Mengapa???. Pertanyaan yang tentu saja membutuhkan kecermatan dalam berpikir agar kita tidak terjebak ke dalam bingkai kebusukan borjuasi yang tidak henti-hentinya memberikan jargon (baca ; janji) muluk dihadapan rakyat. Untuk itu, mari kita analisa fenomena sosio-politik ini, yang kalau boleh penulis menyebutnya sebagai penyimpangan (deviant). Kenapa?. Sebab didalam propaganda elit borjuasi ini tersimpan sejuta kebohongan yang tentu saja sangat berbahaya bagi kemajuan kesadaran rakyat.

Kita tentu masih ingat, bagaimana benih opurtunisme muncul di tengah krisis 98 yang lalu. Dimana sentimen anti orde baru yang semakin meluas, membuat elit politik berlomba-lomba menyelamatkan diri bahkan bak pahlawan turut menyerang Soeharto sebagai biang krisis yang semakin memukul mundur kesejahteraan rakyat. Hari ini, gejala opurtunisme ini kembali muncul disaat trend Neo-liberalisme terbukti gagal mensejahterakan rakyat. Mereka (baca ; elit politik borjuasi) berlomba-lomba menyerang Neo-liberalisme, yang pada saat bersamaan mengangkat sentimen nasionalisme dengan berbagai isu pro-rakyat. Bahkan tak jarang yang mensimbolkan dirinya tak ubahnya Chavez di Venezuela, atau Evo Morales di Bolivia. Ini tentu merupakan bahaya bagi kelangsungan demokrasi dan kesadaran rakyat. Inilah oportunisme dan kepura-puraanh yang sedang melanda elit. Rakyat Indonesia memang harus waspada dan jeli melihat ini. Bukankah para elit politik borjuasi ini juga yang menabur benih Neo-Loberalisme di Indonesia yang semakin memiskinkan rakyat. SBY, JK, Megawati, Gus Dur, Amien Rais, hingga Prabowo dan Wiranto, adalah setali tiga uang. Mereka merupakan elit yang memaksakan serentetan program obral murah aset negara (baca ; BUMN), pencabutan subsidi BBM, TDL, Keshatan dan pendidikan, dll. Mereka ini pula boneka imperialisme yang permak wajah dan tindakannya hari ini agar terkesan dan nampak manis di hadapan rakyat, padahal sejatinya merekalah musuh rakyat sebenarnya. Musuh yang sejak dulu menindas dan saat ini berpura-pura baik untuk menipu dan kembali menjebak rakyat dalam bingkai penjajahan baru. Inilah yang harus kita waspadai, wajah elit yang nampak pro rakyat inilah yang suatu saat akan kembali menelikung kesadaran rakyat. Rakyat tidak boleh tertipu lagi untuk kesekian kalinya. Cukup sudah kaum buruh dan rakyat msikin terjebak dengan mulut manis elit. Kita tidak boleh lagi memberikan harapan kepada mereka, tapi kepemimpinan politik harus kita ambil alih ditengah krisis yang sedang terjadi hari ini.

[1] Sumber : http://okezone.com/
[2] Ibid,-
[3] Sekrot riil, Setitik Cahaya di Lorong Gelap. Kompas, 3 April 2009. Hal 33.
[4] Elit politik Borjuasi, bisa disimbolisasikan sebagai kekuatan sisa orde baru, petinggi militer yang berpolitik, pengusaha antek imperialis, serta borjuasi lokal penghisap “resource” daerah. Serupa tapi tak sama, demikian istilah yang paling tepat untuk menggambarkannya. Artinya, meski mereka berbeda komunitas, partai, daerah, dll, namun sejatinya mereka tetap serupa sebagai kaum elit yang selama ini cenderung menindas rakyat dengan kekuasaan modal dan politik yang mereka miliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!