Memang Pemilu Legislatif yang diperhelatkan pada 9 April 2009 kemaren telah berlalu. Akan tetapi menjadi pertanyaan bagi kita, pentingkah kemudian bagi Kalangan Gerakan untuk memperdebatkan pilihan taktik parlemen yang belakangan di yakini oleh beberapa elemen gerakan di Indonesia bisa di manfaatkan untuk mendorong lahirnya situasi yang revolusioner. Sederhananya tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan yang selalu muncul didalam benak kebanyakan Rakyat Indonesia hari ini, “Benarkah Pemilu 2009 itu Pemilu Rakyat?!!”
Demokrasi yang tidak Demokratis
Paska Tumbangnya Rezim Totaliter Suharto setidaknya, sampai hari ini telah berlangsung beberapa kali pemilu yang sejatinya adalah “pesta” demokrasi yang penuh kepalsuan . wajar jika ternyata keseluruhannya tidak memberi jawaban atas tuntutan perubahan yang mendasar atas kondisi bangsa yang kian terpuruk. Dan hasil serupa juga akan didapat dari pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2009. Hal ini tentulah bukan tidak tanpa dasar. Ketidak mampuan Gerakan menghadirkan Alat politik alternatif di awal-awal reformasi serta ditambahkan dengan ulah segelintir mahasiswa-mahasiswa oportunis telah membuat Konsolidasi Klas borjuasi kembali berhasil mengambil alih kekuasaan Negara. Praktis kemudian Mekanisme legitimasi Kekuasaan Negara atau yang lebih kita kenal dengan istilah Pemilu dibuat untuk kepentingan satu klas saja yakni klas borjuis. Lewat regulasi dan sistem kerja pemilu mereka meng-ilusi massa Rakyat, “sebuah orde telah lahir, orde yang lebih baik.”
Walau tidak sedikit massa rakyat yang ter-ilusi dengan propaganda klas borjuis saat itu. Hal yang terjadi malah sebaliknya, semua peraturan perundang-undangan di “liberalisasi” agar modal asing bisa leluasa keluar-masuk merampok kekayaan negeri kita, BBM dinaikkan Berkali-kali, Harga kebutuhan pokok meroket sampai lapis langit ke sembilan, sistem kerja kontrak serta outsourching semakin massif diterapkan oleh pengusaha, PHK massal dimana-mana, Kelangkaan serta mahalnya harga pupuk dan masih banyak lagi deretan penderitaan massa rakyat yang masih terus terjadi sampai detik ini.
Tahun ini, mereka (baca: klas borjuis) suka-tidak suka harus meminta kembali “legitimasi” kekuasaan atas Negara dari massa rakyat. Maka dibuatlah satu paket undang-undang pemilu yang terkesan menghadirkan sebuah mekanisme demokratis.
paket undang-undang ini memberikan ruang keleluasaan sebesar besarnya kepada partai-partai politik borjuis dan menutup ruang bagi kebanyakan rakyat untuk ikut terlibat aktif dalam menentukan masa depan bangsa ini.
Bahkan dari proses kajian yang di lakukan tim akademisi, dari 2200 daftar inventaris masalah (DIM) yang ada di draft Undang-undang paket pemilu hanya empat yang dirubah, selebihnya diabaikan (Arbi sanit,2008)
Mahalnya ongkos yang diperlukan untuk bisa mengikuti “pesta demokrasi” ini membuat massa rakyat semakin jauh dari keterlibatan aktif dan hanya diposisikan menjadi objek pendongkrak jumlah suara dari partai-partai borjuis semata.
Pemilu yang seharusnya menjadi salah satu instrumen demokrasi bagi keseluruhan massa rakyat di tahun 2009 ini tidak lebih dari konsolidasi kaum pengusaha (baca: klas borjuis) dan bahkan lebih jauh kemunduran yang terjadi dalam pemilu 2009 ini dimana pesta demokrasi dijadikan sebagai sebuah komoditas. Semua partai (borjuis) peserta pemilu 2009 jualan “demokrasi” dan tidak sedikit pula yang menjadi korbannya. Kita bisa melihat dengan kasat mata, paska pencontrengan hampir semua caleg-caleng yang sebelumnya menjudikan uangnya sebagai modal buat meraih kursi parlemen mulai menjadi “gila” karena api jauh dari panggang. Mulai dari meminta kembali barang atau uang yang diberikan saat kampanye sampai ke hal yang paling memalukan, berkonsultasi ke rumah sakit jiwa. Menjadi pertanyaan kemudian, mampukah atau lebih tepatnya benarkah orang-orang seperti ini memiliki tujuan membebaskan bangsa ini dari belenggu penindasan.
Mengapa demikian, jawabannya sangat sederhana, mereka (baca: Klas borjuis) harus berupaya menahan laju kesadaran politik massa rakyat dengan segala cara, baik melalui hegemoni ide borjuasi, produk regulasi pemilu untuk menutup ruang demokrasi yang sesungguhnya bahkan jika perlu mereka akan menggunakan kekerasan demi mempertahankan kekuasaannya.
Seperti itulah potret dari pemilu 2009. Sama sekali tidak mampu dijadikan sebagai tonggak lahirnya perubahan. Maka menjadi pilihan yang paling objektif bagi klas pekerja Indonesia untuk tidak mengunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden 2009 karena jelas pemilu 2009 bukanlah pemilu rakyat!!.
Belajar dari Kelemahan Gerakan
Taktik Parlemen hanya bisa di mainkan apabila Pranata politik klas Pekerja sudah terbangun dan matang (Karl Marx)
Kekecewaan massa rakyat pada pemerintahan dan legislatif hasil pemilu 1999 ditambah dengan Kampanye Golput yang dilancarkan oleh elemen gerakan rakyat pada saat itu membuat tingkat keapatisan massa rakyat yang sangat besar terhadap setiap pemilu-pemilu borjuasi selanjutnya. Bisa dikatakan, Pemenang pemilu yang telah beberapa kali berlangsung adalah massa rakyat yang memilih untuk tidak memberikan hak suaranya alias Golput. beberapa analis dan pemerhati politik menyebutkan bahwa hampir 50 % dari massa rakyat yang memiliki hak pilih tidak menggunakan haknya dalam pemilu 9 april 2009 yang baru saja berlangsung. Yang perlu dicermati oleh kita, mereka (baca: klas borjuis) mencoba melakukan penggiringan opini lewat instrumennya baik media dan propagandis-nya, “hal itu terjadi, tidak lebih dikarenakan oleh permasalahan teknis belaka.”
Keapatisan massa rakyat yang seharusnya menjadi peluang bagi gerakan untuk me-rekonstruksi kesadaran politik semu yang selama 32 tahun dijejali oleh orde baru sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang mengembirakan.
Eksistensi dan kegenitan dari organ-organ gerakan membuat massa rakyat tertindas tidak bisa terwadahi didalam sebuah organisasi politik/partai yang berwatak klas sebagai jawaban dari kondisi dimana semua partai politik yang diakui oleh Dep.KumHam adalah partai-partai yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan klas borjuis atas Negara bukan bertujuan untuk membawa bangsa ini keluar dari permasalahan-nya.
Semakin hari semakin banyak massa rakyat yang semakin apolitis, hal inilah yang menjadi salah satu kekuatan klas borjuis dalam mempertahankan kekuasaannya atas Negara.
Menjadi kebutuhan mendesak bagi kita melahirkan satu alat politik/ partai yang berwatak klas dan bertujuan untuk membebaskan bangsa ini dari cengkraman kapitalisme neo-liberal yang telah terbukti menghantarkan kita kepada kesengsaraan.
Hal lain yang menjadi duri dalam daging gerakan hari ini, beberapa pimpinan Serikat-serikat di tingkatan sektoral dan segelintir Aktifis ProDemokrasi ter-interupsi dengan Electoral Euphoria dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi Calon Legislatif dari partai-partai borjuis tanpa persetujuan dan Arahan dari kolektif organisasinya. Artinya, kebanyakan dari mereka masuk kedalam parlemen lebih kepada motif dan kepentingan individu semata.
Tanggung Jawab Klas Pekerja Indonesia
“Pertanyaannya bukanlah siapakah proletar ini atau itu, atau bahkan apakah semua proletar saat ini memikirkan akan tujuannya. Pertanyaannya adalah apa proletariat itu, dan apa yang harus dilakukan.” (Karl Marx, 1844)
Krisis keuangan global yang semakin parah dan berdampak ke Indonesia adalah bukti gagalnya kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi-politik. Sosialisme menjadi sebuah keniscayaan hari ini, dimana Ia layak untuk diterapkan sebagai sebuah sistem ekonomi-politik baru di indonesia. Sistem inilah yang akan membebaskan mayoritas rakyat dari keterpurukan ekonomi serta memberi kemerdakaan pada mereka untuk aktif berpolitik, menentukan masa depan bangsa. Dan hanya lewat kepemimpinan klas pekerja atas negaralah Sosialisme bisa diwujudkan di negeri ini.
Massa rakyat tertindas harus cermat dan berhati-hati dengan kampanye dari propagadis kaum borjuis yang sangat manipulatif . Hari ini, terkesan mereka sedang berlawan dengan Kapitalisme-neoliberal, disetiap kesempatan mereka berupaya menyatakan bahwa keterpurukan bangsa hari ini adalah akibat dari keberkuasaan neoliberalisme atas bumi indonesia. “Modal asing yang berkuasa atas asset-asset vital dan kekayaan alam negeri ini, itulah musuh kita” ujar propagandis kaum borjuis. Adalah benar, Kapitalisme-neoliberal lewat investasi modal dan kepentingan akumulatinya adalah akar dari permasalahan tetapi harus diingat bahwa mereka, klas borjuis Indonesia adalah kaki tangan kapitalisme-neoliberal yang telah mengobral dan menjual murah negeri dan bangsannya demi kepentingan Kapitalisme-neoliberal.
Serikat sebagai Sekolah Politik
Untuk mewujudkan sosialisme sebagai jawaban atas kegagalan Kapitalisme diperlukan kerja ekstra keras dari kaum pelopor, klas pekerja. Upaya mendekatkan klas pekerja kepada tampuk kekuasaan tidak lagi cukup sekedar propaganda akan tetapi kualitasnya harus segera didorong lebih maju, praktek kerja nyata sosialis. Serikat sebagai organ sektoral tidak lagi tepat jika hanya dijadikan alat untuk memperjuangkan hak-hak normatif semata. Serikat hari ini harus dimajukan fungsinya menjadi sekolah politik untuk keseluruhan anggotanya. Demokratisasi proletaris harus mulai dibudayakan dalam kerja-kerja organisasi serikat.
Oleh karenanya menjadi kebutuhan dan tanggung jawab mendesak bagi serikat-serikat menghadirkan pendidikan politik yang berwatak klas kepada seluruh anggotannya. Meluaskan dan membangun serikat-serikat ditingkatan sektoral rakyat tertindas menjadi tugas dan tanggung jawab organisasi.
Perebutan struktur kekuasaan di level territorial harus mulai di inisiasi oleh serikat dengan melahirkan kader-kader dari klas pekerja yang mampu memimpin mulai dari tingkatan RT, RW, Kades, dst. Melatih diri untuk memimpin massa lewat kepemimpinan dalam struktur kekuasan territorial cukup penting artinya untuk perwujudan masa depan sosialisme Indonesia.
Perkuat Front Persatuan Multi Sektor
Dalam melancarkan serangan politik terhadap klas borjuis dan upaya mendekatkan diri ketampuk kekuasaan sebagai sebuah strategi perjuangan pembangunan Sosialisme, klas buruh haruslah membangun koalisi dengan klas-klas yang juga menjadi korban dari sistem kapitalisme. Karakter organisasi yang berbeda-beda mungkin akan membuat pasang-surut gerak dari front multi sektor yang kita bangun, Tetapi hal itu tidak lantas membuat kita lelah dan menyerah begitu saja. Diperlukan kesabaran dari klas pelopor didalam memperkuat dan memajukan kualitas dari front ini. Perjuangan klas sejatinya harus dipimpin oleh klas itu sendiri. Klas Pekerja sebagai klas termaju memiliki tanggung jawab untuk mendidik klas-klas tertindas lainnya lewat wadah front multi sektor ini.
Bangun Partai Revolusioner yang berwatak klas
"langkah pertama dalam revolusi yang dilaksanakan oleh klas Pekerja adalah dengan menaikkan posisi proletariat itu ke dalam posisi klas yang memerintah, untuk memenangkan perjuangan demokrasi." (Karl Marx)
Tampuk kekuasaan Negara sebagai alat penindas klas borjuis terhadap klas pekerja dan klas-klas sosial lainya harus segera direbut. Perebutan tampuk kekuasaan Negara membutuhkan sebuah alat politik. Alat politik yang dimaksud disini bukanlah sekedar alat politik biasa melainkan sebuah alat politik yang mencerminkan kepentingan politik klas-klas tertindas di era kapitalisme-neoliberal saat ini. Partai revolusioner yang berwatak klas adalah alat politik politik yang tepat. Mengapa kita perlu partai revolusioner? Bukankah perjuangan massal bisa timbul secara spontan? Jelas bisa, dan proses radikalisasi politik juga bisa berlangsung secara spontan akibat penindasan dan eksploitasi yang dialami massa rakyat di mana-mana. Namun radikalisasi dan perjuangan belum pernah berkembang secara merata. Selalu ada pengikut yang lebih sadar, lebih militan, lebih radikal daripada pengikut lainnya. Sedangkan ada juga yang lebih konservatif, ragu-ragu, bahkan ada yang menentang perjuangannya dan mendukung status quo.
Dalam setiap gerakan, termasuk gerakan buruh, selalu ada perdebatan dan persilisihan, serta konflik bahkan berujung pada perpecahan. Tujuan partai revolusioner adalah untuk menyatukan kelas buruh, dan menjadikannya pimpinan perjuangan seluruh massa rakyat di bawah program ekonomi, sosial dan politik sosialis. Lantas mengapa pula partai revolusioner itu harus berwatak klas? Penindasan yang terjadi sejatinya adalah pertarungan klas berkuasa dengan klas tertindas. Artinya sebuah partai revolusioner haruslah berisikan oleh klas-klas yang ditindas oleh klas yang berkuasa dan mencerminkan kepentingan dan perjuangan klas-klas tersebut. Kapitalisme melahirkan pertentangan dua klas utama nyakni klas borjuis Vs klas Pekerja. Maka menjadi pantas ketika klas pekerja yang mengemban tanggung jawab memimpin partai revolusioner dan perjuangannya. Terlebih klas pekerja berada di jantung proses produksi sehingga klas ini adalh klas yang paling maju dan paling siap berhadap-hadapan dengan klas borjuis.
Tentu tidak segampang berteori untuk mewujudkan lahirnya sebuah partai revolusioner yang berwatak klas ini persatuan gerakanlah menjadi pondasinya.
Kesimpulan
Dari penuturan diatas jelas dapat disimpulkan bahwa sangat tidak tepat saat ini bagi kita untuk memperdebatkan layak tidaknya taktik parlemen diambil. Akan tetapi ada tugas mendesak dan jauh lebih penting bagi klas pekerja Indonesia nyaitu membangun massa dan mewadahi mereka dalam sebuah Partai revolusioner yang berwatak klas demi terwujudnya sosialisme di Indonesia.
LAWAN PENJAJAHAN GAYA BARU !!
BURUH BERKUASA, RAKYAT SEJAHTERA!!
*Andi Manurung - Ketua komite kota PRP Samarinda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
halo k...
rajin nulis? sy rutin nulis... tapi g dipublikasikan.. heheheh!
Halo...apa kabar? trims dah mampir. Nyumbang tulisan dong???
Posting Komentar
Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!