Dibalik merebaknya aliran sesat

Jumat, 09 November 2007

(Tulisan ini sebelumnya dimuat di harian Tribunkaltim)

Berita yang menggemparkan masyarakat Indonesia kembali terdengar dihampir seluruh pelosok-pelosok negeri. Terungkapnya sebuah aliran kepercayaan yang telah difatwakan oleh Majelis Ulama Indoensia (MUI), sebagai aliran sesat yang menistakan agama, menjadi topic perbincangan hangat dimana-mana. Aliran keyakinan Al Qiyadah Al Islamiah pimpinan Ahmad Moshaddeq, merupakan kelompok yang paling paling populer dan dicari-cari saat ini. Tindakan pengucilan, pengusiran, serta pemberedelanpun dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalis terhadap mereka yang diduga pengikut dari aliran kelompok Al Qiyadah Al Islamiah ini. Sepintas, kejadian serupa pernah dialami oleh aliran Ahmadiyah pada tahun 2002/2003 lalu serta kelompok Kerajaan Tuhan yang dipimpin oleh Lia Eden pada tahun 2005.

Kejadian ini mengingatkan kita pada zaman pertengahan sekitar abad 16 dimana orang-orang yang dianggap menyebarkan kesesatan ilmu sihir akan diburu ibaratkan binatang buruan di hutan belantara. Gejalan ini diistilah sebagai perburuan tukang sihir (Witch Hunt). Perlakuan sama yang dialami oleh aliran-aliran kepercayaan yang dianggap sesat di Indonesia, jelas semakin mengarahkan pandangan dan pemikiran masyarakat yang menyaksikannya, semakin sempit ke dalam bingkai pola pikir yang irasional dan tidak ilmiah. Masyarakat secara tersirat, dididik, dilatih dan diajarkan untuk memaknai perbedaan semagai sesuatu yang tidak wajar. Perbedaan dipahami sebagai musuh dalam kehidupan. Untuk itu, siapapun individu maupun kelompok yang mencoba meyakini suatu ajaran di luar konteks keyakinan yang diakui oleh lembaga-lembaga Negara dan keagamaan, maka halal darahnya untuk ditumpahkan. Pandangan ini bukan tanpa dasar yang kuat, namun kita butuh analisa lebih komprehensif dan mendalam, lebih dari sekedar alasan penistaan agama. Lantas, apa yang mendasari aliran-aliran yang dianggap sesat ini muncul dan berkembang bak jamur dengan pengikut yang tidak sedikit? Dan bagaimana pula kita harus bersikap dan menghadapi fenomena ini?

Ada beberapa variable yang mengakibatkan semakin berkembangnya aliran-aliran kepercayaan baru di luar mainstream keyakinan yang ada, yakni :

1. Faktor Ekonomi dan Kondisi Hidup

Situasi Negara kita telah menciptakan pusaran kemiskinan serta keterbelakangan dimana-mana. Masyarakat dipaksa untuk hidup seadanya, meski dengan kondisi yang penuh keterbatasan. Sementara disisi lain, terdapat sebahagian orang yang tetap berdiri tegar di atas kemewahannya. Ini tentunya akan memberikan stigma negative dalam masyarakat kita. Masyarakat yang berada pada titik kejenuhan dan kebosanan terhadap kondisi kehidupannya, terkesan akan mencari tempat pelarian untuk merenungi nasib dan masa depannya. Kalau boleh disebut sebagai “Penghibur Jiwa Yang Resah” dalam konteks spiritual. Fenomena merebaknya aliran kepercayaan baru, seperti Al Qiyadah Al Islamiah, juga dilatar belakangi oleh kondisi ekonomi masyarakat. Siapa yang tidak tergiur dengan kemewahan yang ditawarkan oleh keyakinan baru ini? Coba saja kita perhatikan, setiap pertemuan-pertemuan yang mereka lakukan, pasti selalu diadakan di tempat-tempat mewah dan berkelas. Maka tidak mengherankan ketika orang-orang berbondong-bondong berdatangan hanya demi mengecap kemewahan yang tersedia lengkap dengan setelan jas dan dasi yang menyerupai pejabat.

2. Tekanan Sosial dan Budaya Trendy

Rasa terkucilkan dalam lingkungan social, juga menjadi salah satu hal yang menyebabkan trend aliran kepercayaan baru ini muncul dan berkembang. Ungkapan sederhana yang mengatakan, “Mencari sesuatu yang bebeda dan lain daripada yang lain, adalah bentuk keberhasilan pencaran jati diri seseorang”. Ungkapan ini mengingatkan kita dengan kecenderungan anak-anak muda negeri ini yang selalu berhasrat untuk mencoba dan melakukan hal-hal yang dinilai baru. Hal yang tak lazim-pun (tak peduli benar-salah atau baik-buruknya), dianggap sebagai sesuatu yang trendy, menarik, unik serta menggairahkan jiwa muda mereka tentunya. Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi dalam fenomena aliran baru yang mucul hari ini. Seperti yang dikatakan oleh pimpinan Al Qiyadah Al Islamiah, Ahmad Mosaddeq dalam satu petikan wawancaranya, yang mengklaim bahwa, 60 persen dari pengikutnya adalah pemuda dari kalangan mahasiswa. Ini membuktikan bahwa tekanan social serta tren, “Meraba Dan Mencari-Cari Sesuatu Yang Unik”, masih begitu melekat dalam pemikiran serta pemahaman sebahagian besar kalangan muda di Indonesia.

3. Mistifikasi Pengetahuan.

Dominan masyarakat Indonesia memang masih meletakkan kesadarannyanya dalam landasan pengetahuan tradisional. Hal ini menyebabkan pola pikir masyarakat kita lebih bergantung kepada kebiasaan leluhurnya, bukan dari tradisi pengetahuan ilmiah. Walhasil, masyarakatpun begitu labil untuk terjerat tipu daya oleh ucapan seseorang, terlebih dari seorang petapa spiritual yang telah melewati 40 hari, 40 malam di kaki Gunung Salak Endah, pamijahan Kabupaten Bogor, seperti Ahmad Mosaddeq. Bahkan Nampak mereka melakukan pem-Baiat-an dengan hati bangga dan senang tanpa ragu sedikitpun.

Jika ada cemooh dari masyarakat yang mengatakan bahwa ajaran Ahmad Moaddeq adalah ajaran yang sesat, mengada-ada dan sama sekali tidak mampu diterima akal sehat, lantas mengapa juga begitu banyak (hingga puluhan ribu orang) pengikut Mosaddeq yang bahkan telah tersebar dibeberapa wilayah di Indonesia???. Inilah yang menjadi buah dari mistifikasi pengetahuan masyarakat. Sehingga pedoman bertindak dalam kerangka ilmiah menjadi terlupakan, tertelan dan termakan oleh budaya mistik yang sengaja dipertahankan oleh mereka yang berkepentingan.

4. Tidak maksimalnya Metodelogi Pencerahan

Bentuk pencerahan dapat dilakukan melalui cara dan media apa saja. Dalam dunia Islam kita mengenal istilah “Dak’wah”, yakni metode pencerahan ummat yang bertujuan untuk mengajarkan pemahaman ke-Islaman berdasarkan Syariat (hukum-hukum Islam) bagi mereka yang berkeyakinan. Namun dalam realitas social, terkadang media pencerahan yang digunakan cenderung membuat masyarakat semakin teguh dengan keyakinannya. Malah semakin menjadikan masyarakat takut dengan aturan. Media visual melalui televise misalnya, tayangan sinetron-sinetron yang berbasis religious relative cenderung memberikan stigma negative terhadap agama. Agama terkesan dijadikan stereotip dari monster ganas, besar dan menakutkan yang setiap saat siap merajam mereka yang tidak menjalankan aturan dengan baik. Hal tersebut juga merupakan salah satu alasan bagi mereka yang meninggalkan kepercayaan dan keyakinan mereka sendiri.

5. Dekadensi Moral

Semakin rendahnya moralitas manusia, membawa mereka kepada kecenderungan untuk mencari suatu kewajiban hidup yang dianggap lebih mudah, tidak memaksa dan relative tidak memberatkan. Jika kita menyimak dengan seksama, maka kita akan menemukan fakta bahwa hampir semua aliran-aliran kepercayaan baru yang muncul, menerapkan pola kewajiban ibadahnya dengan syarat yang lebih mudah. Hal ini sama dengan fenomena aliran Al Qiyadah Al Islamiah, dimana kelompok ini tidak mengaharuskan pengikutnya untuk sholat, puasa dan haji. Bukankah hal tersebut sangat mudah dan sederhana?. Sungguh suatu keadaan yang menggoda iman dan keyakinan bagi mereka yang memiliki akhlak yang keropos dan lemah.

Untuk menghadapi fenomena berkembangnya aliran-aliran kepercayaan baru dalam masyarakat, kita tidak harus menanggapinya secara emosional dan reaktif dengan prasangka-prasangka yang tak berdasar (tanpa melihat akar permasalahan) yang ada. Kita seharusnya lebih arif dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah. Kekerasan, terror, acaman serta pengucilan, bukanlah jalan keluar yang baik. Menghancurkan, bahkan membunuh mereka yang dianggap sesat, tanpa memperbaiki kondisi kesemrawutan bangsa kita dari segala aspek, hanya akan melahirkan kesesatan baru yang mungkin jauh lebih berbahaya.

Bontang, 1 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!