Tanggung jawab kaum intelektual dalam Pilkada

Sabtu, 03 November 2007

(Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Harian Tribun Kaltim)

"Seribu pahlawan bisa lahir dan mati dalam satu hari di negeri ini. Tetapi tak seorang pun ada yang peduli di tanah air kita ini. Dulu dalam kegelapan, seekor kunang-kunang pun bisa menjadi bintang. Sekarang bintang-bintang yang lahir malah dipadamkan". (Pramoedya Ananta Toer)

Kaum intelektual merupakan redefinisi dari golongan terpelajar, yang tentunya memiliki kemampuan daya pikir, analisa dan pengetahuan lebih dibandingkan dengan golongan/kelompok masyarakat lainnya. Kemampuan tersebut bukan dikarenakan kecerdasan bawaan sejak lahir, atau kecerdasan IQ di atas rata-rata yang mereka miliki, namun waktu luang lebihlah yang menjadikan kaum intelektual dapat mengasah dan mendalami pengetahuan seputar problem-problem yang terjadi di tengah masyarakat luas. Kaum intelektual bukanlah sekedar manusia yang memiliki ilmu pengetahuan berdasarkan buku-buku, manuscript atau referensi lainnya yang mereka miliki. Namun lebih dari itu, kaum intelektual merupakan pelopor (vanguard) bagi perubahan social yang senantiasa mampu mengejahwantahkan buah pemikirannya secara nyata demi kepentingan masyarakat.

Edward Shils dalam Encyclopedia of the Social Sciences, mendefinsikan kaum intelektual sebagai kumpulan orang-orang dalam suatu masyarakat yang menggunakan simbol-simbol umum dan referensi abstrak mengenai manusia, masyarakat, alam, dan kosmos dalam komunikasi dan ekspresi mereka dengan frekuensi yang lebih tinggi dari sebagian besar anggota masyarakat lain.

Dewasa ini, kaum intelektual semakin berjamuran dimana-mana seiring dengan ruang demokrasi yang mulai terbangun pasca Reformasi lalu. Namun tak sedikit para intelektual bersikap passif terhadap realitas social yang ada. Kecenderungan ini muncul akibat kebingungan terhadap apa dan bagaimana mereka harus bersikap. Hal ini justru semakin membuat sebahagian kaum intelektual menjadi semakin apatis dengan keadaan, bahkan luluh terhadap pengetahuan yang mereka miliki sendiri. Tulisan ini mencoba sedikit memberikan sumbangsih pemikiran untuk kembali membangkitkan tradisi intelektual, khususnya di Kalimantan Timur, dengan harapan akan lebih mampu membangun polemic berwacana terutama bagi kalangan muda di daerah ini.

Membangun Tradisi Intelektual

Jas Merah, “jangan sekali-sekali meluapakan sejarah”, demikian ungkapan tersohor dari founding fathers Bangsa Indonesia, Soekarno. Makna tersirat yang mengajarkan kepada kita bahwa sejarah bukan sekedar ditulis dan menjadi pajangan, sejarah bukan pula catatan perjalanan untuk sekedar beromantisme belaka, namun sejarah merupakan alat dalam bentuk pengalaman yang akan kita gunakan untuk bertindak dan berbuat dimasa depan. Sejarah akan menjadi cara yang ampuh untuk menutup lubang kosong kegagalan yang telah kita toreh. Manusia yang tidak memiliki sejarah, maka iapun tidak akan pernah melangkah kepada masa depannya. Dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia, maka kita akan menemukan arti penting dari kaum intelektual (ketika itu tersimbolisasi pada kaum priyayi berpenddikan), dalam membawa Bangsa ini melepaskan diri dari penjajahan serta penindasan selama tiga setengah abad oleh colonial. Referensi sejarah Bangsa Indonesia, telah menempatkan kaum intelektual, yang ketika itu diwakili oleh kalangan muda dalam bingkai perubahan. Dimulai dari gerakan maju dizaman politik etis pada awal tahun 1900-an, gerakan pesatuan pemuda dalam Kongres pemuda Boedi Utoemo (pesatuan kalangan muda dari joung Java, joung Sumatera, joung Borneo, Jong Celebes dll) tahun 1928, hingga sikap berani para kelompok anak muda, “Pemuda Menteng” yang telah berani menculik dan memaksa Soekarno untuk membacakan Manifest deklarasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 (Baca ; Takashi Shirashi dalam “Zaman Bergerak”). Dari rekam jejak sejarah perjalanan Bangsa Indonesia, kaum intelektual memang selalu mengambil peran penting di dalamnya, baik secara langsung mampun tidak.

Tradisi intelektual yang memposisi diri sebagai pemantik ledakan peruabahan masih berlanjut pada periode-periode perjalanan sejarah Indonesia hingga meletusnya peristiwa Reformasi tahun 1998. Namun pasca itu, kalangan intelektual menjadi kebingungan terhadap kondisi dan situasi yang ada. Tuntutan masyarakat akan perbaikan nasib, demokratisasi dan kesejahteraan, menjadi sebuah mimpi yang tak mampu dikawal dengan baik oleh kaum intelektual negeri ini. Polemik wacana dan perdebatan-pun semakin jarang terdengar. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi intelektual yang penuh dengan dinamika semakin menghilang. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah tekanan dari system politik kekuasaan yang terlampau berlebihan menanggapi sikap kritis dari kaum intelektual kita (sebagaian kaum intelektual malah tak luput dari jebakan iming-iming materi, posisi dan jabatan yang disodorkan kepadanya). Sikap kritis, protes dan perbedaan pandangan yang dilontarkan, terkadang dianggap membahayakan stabilitas dan mengancam posisi politik mereka yang berkuasa. Ancaman, terror, intimidasi telah menjadi hantu menakutkan bagi mereka berani mengkritik. Namun itu merupakan konsekuensi perjalanan intelektualitas yang harus kita tanggung. Takut dan menyerah dengan keadaan, sama halnya dengan membunuh hati nurani kemanusiaan serta kebenaran yang kita yakini. Tradisi inilah yang harus kita bangkitkan kembali. Tradisi intelektual yang selalu melahirkan ide-ide perubahan dan kemaslahatan bagi masyarakat yang kian merindukan perbaikan kondisi, nasib dan masa sepan mereka.

Re-Posisi Peran Kaum Intelektual

Dalam teori social-politik, terdapat sebuah anekdot yang menggelikan namun sangat nyata dialami oleh masyarakat kita hari ini. “Membiasakan masyarakat untuk merasa nyaman dan tentram dengan penindasan serta ketidakadilan yang mereka alami”. Demikian teori kekuasaan otoritarian yang telah menjadi fakta dalam konteks politik Negara Indonesia yang sedang berlaku. Ini merupakan cirri masyarakat terbelakang, yang berada di luar pemahaman dan kesadaran sejatinya akan hak dan kepentingannya. Hal tersebut merupakan perwujudan dari otoritas penguasa yang dengan sengaja membangun kesadaran palsu (Pseudo Ideology) kepada rakyatnya. Meminjam istilah Antonio Gramsci, inilah yang disebut dengan “HEGEMONI”. Hegemoni kekuasaan, atau secara sederhana penulis artikan, “membuat yang ditindas merasa senang dan bahagia ditindas”, menjadi problem utama dalam kehidupan social masyarakat kita. Atau dengan kata lain, mengapa mereka yang tertindas justru merasa senang dan bahagia dalam ketertindasannya?. Ada sebuah paradoks tersirat dalam kata-kata ini. Dalam suatu negara yang pemerintahannya telah tercium segala kebusukannya, baik korupsi, kolusi, pemerkosaan atas hak-hak rakyatnya dan sederet lagi masalah kebobrokan, tetapi rakyatnya tidak berontak, sungguh menimbulkan pertanyaan besar dalam benak yang memikirkannya. Dalam pandangan Gramsci, hegemoni kekuasaan yang dijalankan oleh alat-alat penguasa dengan jitu dan jeli bisa membuat rakyat yang ada dalam kuasanya merasa tentram, dan aman dalam penindasannya. Dengan kata lain, hegemoni adalah suatu sistem pemerintahan yang dengan sengaja membuat kekuasaan berwajah tidak menakutkan bahkan tampak alim dan begitu familiar di mata rakyatnya. Gerakan hegemonisasi itulah yang bisa membikin masyarakat, baik yang duduk dalam stratifikasi sosial yang tinggi maupun rendah, terbius, dan tenggelam dalam rasa aman dan bahagia, namun dibaliknya mengandung begitu besar rasa ketidakadilan.

Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals, menjelaskan bahwa kaum intelektual berperan dan berkewajiban untuk mengungkap kebohongan-kebohongan penguasa/pemerintah, menganalisis tindakan-tindakan berdasar pada penyebab-penyebab dan motif-motif yang pada tujuan-tujuan tersembunyi. Kaum intelektual memilik tanggung jawab untuk bergerak,mendata dan mengungkap suatu titik kebenaran dari kejadian-kejadian yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Baik kejadian yang disebabkan oleh penguasa, maupu kejadian-kejadian yang menyangkut penelitian dan pengembangan kehidupan manusia.

Kesengsaraan dalam wujud kemiskinan, keterbelakangan, diskriminasi, marginalisasi serta ketidakadilan ekonomi,social dan politik, adalah deretan panjang persoalan yang harus kita cari jalan keluarnya. Paling tidak, upaya membuka mata dan telinga akan bentuk penindasan yang dialami oleh masyarakat harus dilakukan tanpa meimbang-nimbang resiko yang akan dihadapi. Disinilah peran dan tanggung jawab kaum intelektual untuk memecah kebuntuan tersebut. Dengan bekal pemikiran dan daya analisa yang lebih, kaum intelektual harus mampu mendobrak moralitas semu serta kebohongan-kebohongan penguasa yang selama ini berwajah manis, namun garang dan menakutkan dalam hati dan pikirannya.

Menempatkan Peran Kaum Intelektual dalam Konteks PILKADA

Kaum intelektual memang sangat dituntut menguji peran dan tanggung jawabnya dalam menginjeksi kesadaran masayarakat. Salah satunya adalah fungsi untuk membangun kerangka pikir serta landasan pemahaman akan pilihan tindakan terbaik bagi masyarakat. Kaum intelektual tidak sekedar menjadi penyimak setia ibarat penonton dalam pertandingan sepakbola, namun kaum intelektual terutama akademisi, tokoh adat/masyarakat, mahasiswa dll, seharusnya mampu menjadi martil perubahan dalam konotasi social. Mendiamkan diri dalam kubangan pemikiran sendiri (intellectual exclusive thingkers), sama halnya dengan membunuh jiwa kemanusiaan serta peran yang wajib dilakukan oleh kaum intelektual di tengah hiruk pikuknya hajatan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADAL).

Sebagian besar kaum intelektual Indonesia, memilih untuk terlibat secara praktis dalam percaturan politik. Ini fakta empiris yang sebenarnya sah-sah saja. Namun perlu kita ketahui mengenai motif dan kepentingan apa yang mereka bawa. Secara prinsip, kaum intelektual seharusnya tidak boleh melepaskan jubah intelektualitasnya yang tetap berkewajiban menjelaskan, menyampaikan dan memberi pengetahuan kepada masyarakat luas tentang kebenaran sesuai dengan koridor filosofi keadilan yang ada, kapanpun dan dimanapun ia berada, termasuk keterlibatannya dalam politik praktis. James Petras dalam "Role of the Intellectuals in social change", menyebutkan bahwa kaum Intelektual memiliki posisi dan peran yang sangat penting dalam konteks politik karena ; (1) mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan partai, gerakan sosial, dan politisasi kelas sosial; (2) melegitimasi dan mempropagandakan secara halus sebuah rejim, kepemimpinan, atau gerakan politik; (3) menyediakan diagnosa atas masalah ekonomi, politik negara, kebijakan, dan strategi-strategi imperialis: (4) menguraikan solusi-solusi, strategi-strategi politik, dan program-program bagi rejim, gerakan, dan para pemimpin; dan (5) mengorganisasi serta berpartisipasi dalam pendidikan politik partai atau aktivis gerakan. Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa, meskipun kaum intelektual tidak memiliki massa/pengikut secara langsung, namun kaum intelektual mampu mempengaruhi opini dan pandangan-pandangan masyarakat terhadap suatu kejadian. Secara teoritik, opini dan isulah yang akan mampu menggerakkan kehendak serta keinginan massa, namun bukan berarti kita harus menafikan charisma atau ketokohan seorang pemimpin.

Pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung di Kalimantan Timur awal tahun 2008 nanti, harus dijadikan sebagai momentum bagi kaum intelektual untuk mengambil peran signifikan dengan membangun opini kepada masyarakat (Public Opinion) mengenai pilihan-pilihan yang benar yang harus diambil. Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh kaum intelektual dalam momentum PILKADA tersebut, antara lain : Pertama, kaum intelektual harus lebih pro-aktif dalam mengkampanyekan kebohongan-kebohongan pemimpin yang dinilai telah gagal dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Kebohongan ini mencakup kebijakan anti-rakyat, praktek korupsi, serta prilaku bobrok elit yang sama sekali tidak meletakkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan segala-galanya. Kedua, kaum intelektual harus lebih mampu memberikan analisa terhadap kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan dihadapi daerah serta solusi-solusi kongkrit penyelesaiaan. Hal tersebut mencakup program-program yang para kandidat yang sifatnya harus didorong agar lebih populis dalam makna betul-betul menjadi jalan keluar perubahan masyarakat kearah yang lebih baik. Ketiga, kaum intelektual harus mampu membangun tradisi bedemokrasi yang baik bagi masyarakat Kaltim. Sepanjang hajatan PILKADA digelar di Indonesia sejak tahun 2005 lalu, begitu banyak kasus kerusuhan yang terjadi akibat pola dan system demokrasi yang belum dipahami dengan baik oleh masyarakat. Sentiment primordial, kultus individu yang berlebihan, serta fanatisme buta terhadap salah seorang kandidat, menjidakan masyarakat lebih mengutamakan menang-kalah daripada tujuan hajatan PILKADA yang sesungguhnya, yakni “Membangun daerah disegala bidang dengan mengisi komposisi struktur pemerintahan yang adil, bersih, dan berkompeten”.


Kaum intelektual, harus mengembalikan posisi dan perannya sebagai pion pengatur ritme social, meski dalam kapasitas extra-power (diluar kekuasaan) yang mereka miliki. Kaum intelektual sudah saatnya meninggalkan kebiasaan berteori dibelakang meja, dengan mencoba mengabdikan ilmu dan pengetahuaannya demi kepentingan masyarakat. Kebiasaan sekedar berteori tanpa mau mencoba keabsahannya, hanya akan menjadikan pengetahuan kita kian absurd dan tak berguna sama sekali untuk perbaikan kondisi masyarakat. “Walupun seribu teori-teori pembebasan yang kita pelajari, setumpuk buku-buku demokrasi dan keadilan yang kita baca, tapi semua tidak akan pernah ada artinya tanpa kita pernah berusaha menyelami air mata kaum tertindas. Maka, kita tak lebih dari sekedar intelektual kekanak-kanakan”. Jika hal tersebut di atas, tidak mampu dilakukan, maka kita hanya akan menjadi manusia yang sok pintar dengan upaya membentuk stratifikasi social (gelar, prestise, dan ketokohan) baru di tengah masyarakat. Situasi yang tentunya hanya akan membangun menara gading, yang sangat terpisah jauh dari realitas kehidupan social masyarakat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Keren juga!!! aku bisa dapat no. kontak dan alamat anda ngk?

trim,-
(Orang yang memiliki kpedulian seperti anda)

Posting Komentar

Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!