Burma ; Tragedi Kemanusiaan Yang Tak Pernah Reda

Minggu, 28 Oktober 2007

(Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di harian Tribun-Kaltim)

"Peluru tidak akan mampu membungkam perlawanan Rakyat Burma. Demokrasi dan keadilan untuk Rakyat, adalah kata mati yang harus terus diperjuangkan meski harus meneteskan darah dan air mata". (Aung Saan Suu Kyi).

Aksi demonstrasi besar-besaran yang digelar ribuan rakyat Burma diruas-ruas jalan kota Yangon (dulunya bernama Rangoon), hingga kini masih terus berlangsung. Aksi ini merupakan aksi protes yang telah berlangsung sejak lama. Tujuan utamanya adalah, perjuangan penegakan demokrasi serta pemulihan hak-hak dasar rakyat Burma secara penuh, yang selama ini telah dikubur dalam-dalam oleh rezim militer Burma dibawah pimpinan jenderal “Than Shwe”.

Aksi yang telah berlangsung sejak tanggal 15 september lalu ini, tercatat telah memakan korban jiwa sebanyak 13 orang, dan ribuan lainnya ditangkap, ditahan dan dibui dipenjara “Insein” yang teletak di kota Yangon. Salah satu korban adalah seorang wartawan (fotografer) dari Jepang, Kenji Nagai (50 thn) yang bekerja untuk APF Tsushin News yang berbasis di Tokyo. Kenji baru dua hari berada di Burma. Foto-foto yang beredar di internet memperlihatkan Kenji terjerambap di jalan sambil mengangkat kamera dan seorang tentara menodong jurnalis itu dengan penuh amarah.

Aksi yang diorganiser oleh kelompok perlawanan para Biksu yang bernama “Union Of The Monk” ini, tidak bisa dipungkiri telah menjadi momok yang menakutkan bagi junta militer yang berkuasa di Burma. Slogan dan jargon-pun bergema diseluruh pelosok negeri Burma, yang tentu saja dikomandoi oleh para biksu dibarisan terdepan demonstran. "Untuk mengenyahkan rezim setan yang menjadi musuh bersama dari bumi Burma untuk selamanya, keikutsertaan massa diperlukan untuk bergabung dengan rohaniwan." demikian pernyataan Union of the monk, lantang. "Kami menyatakan despotisme (system kerajaan lalim) junta militer setan, yang memiskinkan rakyat dan menekan semua lapisan masyarakat, termasuk rohaniwan, menjadi musuh bersama semua masyarakat," demikian lanjutan pernyataan para biksu.

Junta militer Burma memang telah berada di luar batas kamanusiaan memperlakukan rakyat Burma. Aksi dan demonstrasi, ditanggapi membabi buta dengan senjata. Tak hanya itu, junta militer Burma juga melakukan pemberangusan media dan isolasi komunikasi yang dilakukan untuk menghambat arus informasi. Pemimpin perjuangan demokrasi Burma, Aung Saan Suu Kyi juga digelandang dari rumah tahanannya ke penjara Insein. Peta jalan demokrasi (Road Map To Democracy) yang sedari dulu diharapkan menjadi solusi damai di Burma makin jauh dari kenyataan. Pihak junta militer selalu ingkar janji, bahkan ogah melepaskan Aung Saan Suu Kyi, meski telah mendapatkan tekanan dari dunia internasional. Meski telah menelan korban, namun aksi tersebut semakin meluas dan telah membuka medan pertempuran bagi Rakyat Burma yang telah sekian lama mendambakan kebebasan dan penjajahan yang dilakukan bangsanya sendiri di bawah pemerintahan junta militer yang berkuasa.


Junta Militer Burma ; Musuh Demokrasi


Rezim militer yang sedang berkuasa di Burma selama 45 tahun hingga sat ini, atau yang sering kita sebut dengan Junta militer, telah merampas dan menutup rapat-rapat keran demokrasi tanpa kekerasan yang selama ini didambakan oleh rakyat Burma. Junta militer Burma, yang berkuasa sejak tahun 1962, secara membabi buta dan sepihak telah membatalkan hasil pemilu demokratis pada tahun 1990, yang dimenangkan oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung Saan Suu Kyi (yang hingga kini menjadi orang nomor satu ditakuti oleh junta militer). Saat itu, Suu Kyi dan NLD mendapatkan dukungan lebih dari 80 persen rakyat Burma dalam pemilu legislative yang berlangsung tertib, damai dan demokratis sepanjang sejarah politik Burma. Peristiwa tersebut, merupakan menjadi masa depan kelam penegakan demokrasi, bukan hanya di Burma, tapi juga bagi dunia.

Dalam ilmu politik, hampir semua teori mengamini peranan penting dari kekuatan bersenjata (Baca ; militer). Namun secara prinsip, kekuatan militer seharusnya memposisikan diri sebagai lembaga yang integral dengan kehendak dan keinginan rakyat. Bukan malah sebaliknya, kekuatan militer tidak boleh berdiri sendiri sebagai satu unit kerja yang terpisah dari rakyat-nya (Standing Institution), yang secara poltik tentunya diuntungkan oleh persenjataan yang dimlikinya. Konsepsi dan perdebatan mengenai militer dan peran politiknya, hingga kini sebebarnya telah usai. Dimana setiap kesimpulan yang menguat adalah, “jika militer berkuasa, maka darah dan air mata akhir dari segala-galanya”. Kasus Burma, mengajarkan kepada kita bahwa kekuasaan yang diambil alih oleh kekuatan junta militer selama bertahun-tahun, hanya melahirkan pertumpahan darah dimana-mana. Protes, perbedaan pendapat dan demonstari, diartikan sebagai bentuk pembangkangan dan ketidakpatuhan terhadap penguasa, hak politik rakyat (civilian political rights) semakin diremukkan oleh junta militer yang berkuasa demi mempertahankan kekuasaan meski dengan atau tanpa dukungan dari rakyat.

Idealnya, kekuatan militer secara utuh hanya bertugas menjaga pertahanan dari Negara terhadap ancaman dari luar yang kemungkinan mengganggu kedaulatan bangsa, urusan pemerintahan adalah tugas dan kewajiban dari warga sipil. Kita tentu masih terngiang dengan perjuangan rakyat Indonesia pada saat momentum reformasi 9 tahun yang lalu. Salah satu tuntutan mendesak ketika itu adalah pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Hal ini menjadi penting artinya, sebab jika militer masih merambah dunia politik, maka niscaya demokratisasi hanya akan menjadi mimpi bagi rakyat Indonesia. Hal ini sama persis dengan tuntutan rakyat Burma, kehendak untuk menjatuhkan junta militer, adalah keharusan yang harus diperjuangkan jika demokrasi ingin ditegakkan secara utuh. Kebebasan politik, pers dan kemanusiaan hanya bisa terwujud tanpa kekuatan militer yang begitu dominan dalam panggung politik pemerintahan Burma.


Tragedi Genocide, dan Matinya Proses Hukum.

Tragedi kemanusiaan di Burma telah menjadi pusat perhatian dunia. Cara-cara Barbarian yang dilakukan oleh junta militer Burma terhadap rakyatnya sendiri, merupakan tragedy genocide yang telah membunuh hak-hak hidup dari Rakyat Burma. Ini mengingatkan kita dengan pembantaian massal terhadap kaum Yahudi yang dilakukan “Adolf Hitler” di Jerman, atau “Soeharto” dizaman awal Orde Baru yang telah membantai jutaan manusia dan memenjarakan yang masih hidup tanpa proses pengadilan sedikitpun.

Cara ampuh yang digunakan oleh junta militer Burma, adalah intimidasi psikologis terhadap rakyat. Penangkapan dan penahanan terhadap lawan-lawan politiknya serta para demonstranpun, dilakukan tanpa mengindahkan aspek hukum dan keadilan. Pemenjaraan terhadap rakyat, yang dominan adalah biksu, dilakukan tanpa proses pengadilan. Mereka yang ditahan, diadili dengan pengadilan khusus dan instan, yang notabene merupakan pengadilan yang jaksa dan hakim-nya adalah junta militer sendiri. Jika demikian adanya, bukankah ini adalah tontonan yang pilu dan memalukan? Bagi junta militer Burma, hukum dan pengadilan sama sekali tidak ada dalam kamus mereka. Sisi kemanusiaan hanya dijadikan tertawaan, keadilan dan kesejahteraan hanya menjadi milik mereka yang berkuasa.

Yang lebih parahnya lagi, junta militer tidak menghargai sama sekali keyakinan serta simbolisasi keagamaan di Burma. Para Biksu yang ditangkap dan dipenjarakan, dipaksa untuk melepas pakaiaan (jubah) Biksu yang dikenakan, dan menyuruhnya memakai seragam tahanan yang tak ubahnya tahanan kriminal lainnya. Biksu merupakan komunitas yang menjadi simbol yang paling dimuliakan di Burma. Memaksa melepas jubah Biksu yang dikenakan (apalagi di bawah todongan senjata), adalah bentuk penghinaan terhadap symbol keagamaan di Burma. Pagoda (tempat-tempat suci ummat budha), dimasuki dengan tidak terhormat oleh para pasukan junta militer. Bahkan tak sedikit, benda atau barang-barang

Kembalikan Hak-Hak Rakyat Burma

Persoalan perampasan hak kemanusiaan oleh junta militer yang tengah terjadi di Burma, adalah persoalan yang bukan hanya tanggung jawab Rakyat Burma untuk memperjuangkannya, namun menjadi tanggung jawab dunia internasional, termasuk Indonesia sendiri. Membiarkan tragedy kemanusiaan ini terus berlangsung di Burma, sama saja kita memposisikan diri sebagai orang yang meniginjak-injak hak-hak saudara-saudara kita disana.

Pemerintah Indonesia hingga kini, tidak mampu bersikap tegas terhadap penyelesaian politik Burma. Indonesia bahkan mengambil sikap abstain dalam pengambilan keputusan Resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai Burma Di tingkat ASEAN, Indonesia juga tidak berani mengambil inisiatif yang progresif untuk penyelesaian masalah Burma yang selalu menjadi persoalan pelik di ASEAN. Untuk itu, perlu ada upaya untuk mendorong perubahan sikap politik pemerintah ini terhadap krisis politik yang terjadi di Burma, agar Pemerintah Indonesia lebih berani bersikap pro aktif dalam penyelesaian politik Burma.

Indonesia sebagai Ketua Dewan Keamanan PBB, seharusnya lebih mampu mendorong adanya resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mengecam tindak kekerasan junta militer Burma dan segera mengirim Special Envoy untuk investigasi kekerasan tersebut. Dalam posisinya sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Indonesia juga harus mendukung segala inisiatif untuk penyelesaian masalah Burma dalam koridor demokrasi dan hak asasi manusia. Secara territorial di tingkat ASEAN, Indonesia juga harus berani menjadi pionir untuk mengeluarkan junta militer Myanmar dari keanggotaan ASEAN hingga ada penyelesaian politik yang demokratis di Burma. Sikap lunak selama ini yang tetap mempertahankan Burma dikeanggotaan ASEAN, hanya akan memberikan angin segar bagi junta milter berkuasa di Burma untuk tetap mendapatkan dukungan Negara-negara ASEAN, yang berarti ikut membenarkan tragedy kemanusiaan yang terjadi di Burma.


Catatan : Penulis lebih memilih untuk menyebut Negara Nyanmar dengan sebutan “BURMA”, sebagai simbolisasi dukungan terhadap rakyat Burma yang sedang berjuang hingga kin demi penegakan demokrasi.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

keep going bro............

Anonim mengatakan...

Lumayan Coy.....

Anonim mengatakan...

Tro, loe tinggal dimana sekarang? kok ngk pernah ngasih kabar ke gua sih? btw, gimana kabarmu? kapan main ke makassar lagi?

Posting Komentar

Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!