Tampilkan postingan dengan label Ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi. Tampilkan semua postingan

Free Trade China - Asean dan Ancaman Imperialisme Cina

Jumat, 01 Januari 2010

Oleh : Herdiansyah Hamzah[1]

Pasas bebas (free market) merupakan sejarah panjang dari politik Perdagangan bebas (free trade)

Orat-Oret Skandal Bank Century

Kamis, 03 Desember 2009

Sepuluh tahun yang lalu, Pemerintah melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah melakukan kesalahan besar dengan mempertaruhkan keuangan Negara (Baca : uang rakyat) dalam menangani bank-bank bangkrut melalui kebijakan sistem “BailOut[1]. Dari kebijkan tersebut, negara telah dirugikan paling sedikit sebesar Rp 600 trilliun, yang hingga kini bahkan diprediksi 20 tahun mendatang rakyat harus membayar bunga dan pokok sebesar Rp 60 trilliun melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Dari gambaran posisi regulasi pemerintah tersebut, kita tentu akan bertanya-tanya, siapa yang diuntungkan dari kebijakan bailout tersebut?. Tentu saja yang diuntungkan adalah para obligor nakal BLBI, yang pada sisi lain justru pilihan ini malah mengorbankan rakyatnya sendiri

Kerontokan ekonomi domestik dan menguatnya opurtunisme politik elit borjuis

Jumat, 15 Mei 2009

Krisis keuangan global memberikan efek negatif yang sangat luar biasa terhadap Indonesia. Hal ini ditandai dengan tingkat kekebalan sektor usaha dalam negeri (baca : industri) yang semakin rapuh. Hingga bulan februari 2009, angka PHK telah mencapai 33.444 orang[1]. Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja, Myra M Hanartani. Jumlah pekerja yang kena PHK berasal dari wilayah Sumatera Selatan, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, DI Yogyakarta, dan Papua. Sedangkan untuk jumlah pekerja yang dirumahkan untuk periode yang sama yaitu sebesar 16.029 orang atau meningkat sebesar 4.036 orang (25,2 persen) dari data per 30 Januari yang sebesar 11.993 orang. Pekerja yang dirumahkan tersebut berasal dari Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur[2].

Imbas krisis global memang telah menjangkiti bangunan ekonomi domnestik negara kita. Salah satu fakta krisis yang sedang melanda indonesia, terjadi di tingkat pendapatan ekspor yang semakin merosot, baik ekspor dari sektor migas maupun non-migas. Tingkat ekspor negara kita mulai melemah sejak bulan september-oktober 2008. Pertumbuhan nonmigas dan migas anjlok dari +30% pada bulan september 2008 menjadi 30% pada bulan Januari 2009. Pertumbuhan ekspor migas anjlok lebih hebat dari positif 60% di bulan Agustus 2008, menjadi minus 60% pada bulan Januari 2009[3].

Ditengah krisis yang sedang melanda, elit politik justru memperlihatkan wajah yang sejatinya, yang penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan. Mereka justru sedang berlomba-lomba menabur janji seiring momentum elektoral berlangsung. Lebih parahnya lagi, elit politik justru tidak satupun yang giat memperjuangkan program-program untuk mengatasi krisis, selain stimulus ekonomi Pemerintah yang tak lain juga diserap dari utang baru.

Belakangan ini, khusnya pada masa kampanye Pemilu 2009, para elit politik borjuasi[4] menjadi ambigu atau berwajah dua. Satu sisi berpura-pura baik dihadapan rakyat, namun disisi lain dibalik kabaikan itu terbungkus keserakahan yang sangat luar biasa. Elit politik borjuis, yang dulunya lantang mempropagandakan sistem ekonomi neo-liberal dan pasar bebas sebagai satu-satunya pilihan dalam membangun negara dan masyarakat, justru hari ini berbalik arah 180 derajat. Kampanye elit soal nasionalisasi perusahaan asing, anti neo-liberalisme, penguatan sistem ekonomi domestik, dll, terasa begitu akrab dimedia-media hari ini. Mengapa???. Pertanyaan yang tentu saja membutuhkan kecermatan dalam berpikir agar kita tidak terjebak ke dalam bingkai kebusukan borjuasi yang tidak henti-hentinya memberikan jargon (baca ; janji) muluk dihadapan rakyat. Untuk itu, mari kita analisa fenomena sosio-politik ini, yang kalau boleh penulis menyebutnya sebagai penyimpangan (deviant). Kenapa?. Sebab didalam propaganda elit borjuasi ini tersimpan sejuta kebohongan yang tentu saja sangat berbahaya bagi kemajuan kesadaran rakyat.

Kita tentu masih ingat, bagaimana benih opurtunisme muncul di tengah krisis 98 yang lalu. Dimana sentimen anti orde baru yang semakin meluas, membuat elit politik berlomba-lomba menyelamatkan diri bahkan bak pahlawan turut menyerang Soeharto sebagai biang krisis yang semakin memukul mundur kesejahteraan rakyat. Hari ini, gejala opurtunisme ini kembali muncul disaat trend Neo-liberalisme terbukti gagal mensejahterakan rakyat. Mereka (baca ; elit politik borjuasi) berlomba-lomba menyerang Neo-liberalisme, yang pada saat bersamaan mengangkat sentimen nasionalisme dengan berbagai isu pro-rakyat. Bahkan tak jarang yang mensimbolkan dirinya tak ubahnya Chavez di Venezuela, atau Evo Morales di Bolivia. Ini tentu merupakan bahaya bagi kelangsungan demokrasi dan kesadaran rakyat. Inilah oportunisme dan kepura-puraanh yang sedang melanda elit. Rakyat Indonesia memang harus waspada dan jeli melihat ini. Bukankah para elit politik borjuasi ini juga yang menabur benih Neo-Loberalisme di Indonesia yang semakin memiskinkan rakyat. SBY, JK, Megawati, Gus Dur, Amien Rais, hingga Prabowo dan Wiranto, adalah setali tiga uang. Mereka merupakan elit yang memaksakan serentetan program obral murah aset negara (baca ; BUMN), pencabutan subsidi BBM, TDL, Keshatan dan pendidikan, dll. Mereka ini pula boneka imperialisme yang permak wajah dan tindakannya hari ini agar terkesan dan nampak manis di hadapan rakyat, padahal sejatinya merekalah musuh rakyat sebenarnya. Musuh yang sejak dulu menindas dan saat ini berpura-pura baik untuk menipu dan kembali menjebak rakyat dalam bingkai penjajahan baru. Inilah yang harus kita waspadai, wajah elit yang nampak pro rakyat inilah yang suatu saat akan kembali menelikung kesadaran rakyat. Rakyat tidak boleh tertipu lagi untuk kesekian kalinya. Cukup sudah kaum buruh dan rakyat msikin terjebak dengan mulut manis elit. Kita tidak boleh lagi memberikan harapan kepada mereka, tapi kepemimpinan politik harus kita ambil alih ditengah krisis yang sedang terjadi hari ini.

[1] Sumber : http://okezone.com/
[2] Ibid,-
[3] Sekrot riil, Setitik Cahaya di Lorong Gelap. Kompas, 3 April 2009. Hal 33.
[4] Elit politik Borjuasi, bisa disimbolisasikan sebagai kekuatan sisa orde baru, petinggi militer yang berpolitik, pengusaha antek imperialis, serta borjuasi lokal penghisap “resource” daerah. Serupa tapi tak sama, demikian istilah yang paling tepat untuk menggambarkannya. Artinya, meski mereka berbeda komunitas, partai, daerah, dll, namun sejatinya mereka tetap serupa sebagai kaum elit yang selama ini cenderung menindas rakyat dengan kekuasaan modal dan politik yang mereka miliki.

Kenaikan harga BBM ; Solusi yang tidak solutif!

Jumat, 30 Mei 2008

(Upaya Untuk Membongkar Kebohongan Publik)

Judul diatas tentu membuat makna tersirat akan arti penting suatu komoditas energi dasar yang kita sebut Bahan Bakar Minyak (BBM). Indonesia sendiri merupakan salah satu Negara pengekspor minyak dunia, yang tergabung dalam OPEC. Pada era tahun 80-an, bahkan Indonesia mendapatkan berkah yang sangat melimpah ketika tingkat harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan . Namun sekarang, siapa yang menyangka bahwa justru Negara kita termasuk salah satu dari sekian banyak Negara yang paling panik dan gelisah dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Hingga hingga detik ini, kisaran harga minyak mentah dunia telah mencapai angka US $ 120/barel atau sekitar Rp. 1.116.000,-/barel atau Rp. 7018,-/liter .

Logika-nya, sebagai Negara penghasil dan pengekspor minyak, seharusnya Negara kita mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan kenaikan harga minyak mentah dunia ini. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Negara kita justru defisit. Jadi sekalipun Bangsa Indonesia memiliki sedikitnya 329 Blok/Sumber Migas dengan lahan seluas 95 juta hektar (separuh luas daratan Indonesia) dengan cadangan minyak yang diperkirakan mencapai 250 sampai dengan 300 miliar barel (hampir setara dengan Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar di dunia saat ini) dengan total produksi minyak mentah hari ini mencapai 1 juta barel per hari atau 159 juta liter per hari, tetap tidak bermanfaat bagi kehidupan Rakyat Indonesia, jika masyarakat dipaksa untuk membeli mahal asset alam kita sendiri.

Kebijakan yang Irasional
Kenaikan harga minyak mentah dunia, menuntut Pemerintah untuk buru-buru mengkampanyekan situasi ini yang dianggap membahayakan anggaran Negara jika tidak diantisipasi secepat mungkin. Asumsi pemerintah mengatakan bahwa, semakin melonjaknya harga minyak mentah dunia tersebut, akan menyebabkan kenaikan subsidi dalam negeri sebesar 21,4 trilyun rupiah, sementara negara tidak mempunyai anggaran, sehingga mau tidak mau, harga BBM dalam negeri harus di naikan sesuai dengan harga BBM Internasional. Dewasa ini, pemerintah sering melontarkan pernyataan sebagai upaya pembenaran tindakan untuk menaikkan harga BBM ini. Namun apakah pernyataan tersebut sesuai dengan fakta, atau justru menjadi sebuah bentuk kebohongan terhadap masyarakat. Mari kita lihat satu persatu. Pertama, pemerintah selalu mengatakan bahwa harga BBM Indonesia adalah yang termurah dibandingkan Negara-negara lain. Kenyataannya di Venezuela, harga bensin hanya seharga Rp. 460,-/liter, di Turkmenistan hanya sekitar Rp. 736,-/liter, Iran sebesar Rp. 825,-/liter, dan Nigeria hanya Rp. 920,-/liter . Bandingkan dengan harga bensin dalam negeri kita yang mencapai Rp. 4.500,-/liter, tentu sangat tidak realistis bagi sebuah Negara pengekspor minyak seperti Indonesia, yang seharusnya mampu mneyediakan layanan harga BBM yang lebih murah bagi masyaratnya. Pada sisi yang lain, pernyataan bahwa harga minyak kita adalah yang paling murah juga terbantahkan dengan tingkat harga Pertamax Negara kita sebesar Rp 8.700/liter yang lebih mahal daripada harga bensin di AS (importir minyak terbesar) yang hanya Rp 8.464/liter. Padahal penghasilan rakyat AS sekitar US$ 37 ribu per tahun sementara Indonesia cuma US$ 810/tahun . Tentu kondisi ini tidak bisa dijadikan tolak ukur sama sekali, sebab tingkat pendapatan penduduk perkapita, juga turut menentukan harga jual minyak suatu Negara. Kedua, pemerintah selalu mengasumsikan kenaikan harga minyak dunia, sebagai ancaman terhadap angaran Negara dalam APBN, terutama menyangkut pembengkakan anggaran untuk subsidi sector publik (baca ; BBM). Pemerintah berujar bahwa Negara akan menanggung rugi hingga Rp. 123 trilyun per tahun jika harga BBM tidak naik. Padahal kenyataannya pemerintah dengan harga minyak Internasional mencapai US$ 125/barrel tetap untung Rp 165 trilyun per tahun jika manajemennya benar karena impor sebenarnya kurang dari 20% kebutuhan minyak kita. Seperti yang kita ketahui, bahwa kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri kita mencapai 1,2 juta bph, sedangkan produksi minyak kita sekitar 1 juta bph. Jadi yang kita impor sekitar 0,2 juta bph. Hitung-hitungannya, Jika harga minyak Internasional US$ 125/barrel dengan jumlah impor 200 ribu bph, maka pemerintah Indonesia dengan harga minyak Rp 4.500/liter (atau sekitar US$ 77/barol) akan mendapatkan keuntungan sebesar US$ 49,4 juta per hari atau sekitar Rp 165,8 Trilyun dalam setahun (dengan kurs 1US$ = Rp 9.200,-). Jadi, suatu pembohongan publik jika dikatakan Negara kita rugi Rp 123 Trilyun!. Ketiga, pemerintah selalu menuding rakyat-nya sendiri sebagai rakyat yang sangat boros menggunakan BBM. Bahkan kampanye upaya penghematan diberbagai media cetak maupun elektronik, sangat gencar dilakukan. Padahal, jika dibandingkan dengan Negara lain, masalah pemborosan minyak, Indonesia berada dirangking 116 di bawah Negara-negara Afrika seperti Namibia dan Botswana. Keempat, dan ini bagian yang paling menarik, yakni ; pemerintah selalu mengatakan bahwa tingkat subsidi yang tinggi terhadap BBM, hanya akan membantu golongan kaya di Negara kita. Bahkan Wakil presiden, Yusuf Kalla, mengkritik para pendemo anti kenaikan BBM, sebagai kelompok yang memperjuangkan orang kaya. Pertanyaannya kemudian adalah, “apakah mayoritas orang miskin tidak menggunakan BBM?”. Hanya mereka yang tidak tahu keadaan orang miskin yang akan mengatakan tidak!!!. Pengguna BBM justru adalah mayoritas orang miskin, semisal ; supir bus, metromini, mikrolet, supir pengangkut barang, nelayan, tukang ojek dll. Bukankah jika BBM naik, mereka yang akan dirugikan?. Bukankah jika BBM naik, maka harga kebutuhan pokok, produksi barang, dll juga akan menyesuaikan harga, siapa yang akan rugi kalo bukan orang miskin. Bukankah jika harga BBM naik, maka tarif angkutan umum juga akan ikut naik, dan siapa yang akan dirugikan jika bukan penumpang yang mayoritas adalah mereka yang miskin. Mobil mewah yang beredar dinegara kita hanya sekitar 5 % dari total kendaraan, atau sekitar 10 juta saja. Bandingkan dengan kendaraan seperti motor, angkutan umum dll yang notabene digunakan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Maka dari itu, pernyataan pemerintah yang berdalih jika BBM naik maka akan menyelematkan orang miskin, perlu dipertanyakan, sebab kenaikan BBM justru akan semakin membuat barisan kemiskinan dan pengangguran semakin panjang. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, (Kompas, (7/5), kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa.

Mengapa Harga Minyak Dunia Semakin Mahal.
Pertama, over konsumtif. Dalam artian, tingkat konsumsi minyak yang semakin tinggi oleh Negara-negara maju seperti Amerika yang mencapai 20,59 juta barel per hari, Jepang sebesar 5,22 juta barel per hari, Rusia sebasar 3,10 juta barel per hari, dll. Disamping itu, komsumsi minyak juga semakin meningkat di Negara-negara yang sedang mengalami fase pertumbuhan ekonomi drastis seperti India sebesar 2,53 juta barel per hari maupun Cina sebesar 7,27 juta barel per hari. Ini berarti, total produksi minyak internasional akan lebih banyak diserap dan digunakan oleh Negara-negara tersebut sehinga mengakibatkan distribusi minyak dunia semakin tidak merata. Secara ekonomis, ini menandakan bahwa suplay and demand menjadi tidak seimbang dimana tingkat permintaan minyak jauh lebih tingggi dibandingkan tingkat pewarannya. Gejolak harga minyak dunia-pun menjadi tidak terbendung. Kedua, Ketidakstabilan politik di Negara-negara penghasil minyak. Kenaikan harga minyak mentah dunia, tentu merupakan perkara yang rumit dan berat. Mengapa tidak, hal ini akan semakin mengakibatkan kegoncangan ekonomi (Economic shock) bagi lalu lintas perdagangan dunia. Salah satu penyebabnya adalah ketidakstabilan politik di Negara-negara pengahasil minyak, terutama di daratan timur tengah. Ketidakstabilan politk ini tentu akan mengahambat maksimalisasi produksi minyak dinegara-negara penghasil minyak, sehingga tidak secara total mampu untuk menutupi tingkat konsumsi minyak dunia. Ketidakstabilan politik ini diakibatkan oleh agresi militer serta tekanan politik dari Negara-negara maju yang dipelopiri oleh Negara adidaya, Amerika Serikat. Bayangkan saja, belum habis cerita soal Afganistan dan Irak yang hingga saat ini terus mengalami krisis politik, kini mata dunia dipertontonkan perseteruan antara Amerika dan Iran soal nuklir yang tak habis-habisnya. Belum lagi upaya Amerika untuk terus menekan Venezuela (Negara penghasil minyak terbesar keempat dunia) dengan upaya menggungcang pemerintahan Chavez hingga kini, yang secara tegas menolak kebijakan ekonomi pasar bebas Amerika. Ketidakstabilan politik dari Negara-negara penghasil minyak dunia inilah salah satu penyebab mengapa harga minyak dunia terus melambung tinggi tak terkendali .

Kenaikan BBM ; opsi terakhir ataukah satu-satunya pilihan?
Yang patut kita cermati adalah, sepintas pemerintahan terdengar berupaya untuk meyakinkan masyarakat bahwa’ “Kenaikan harga BBM merupakan opsi terakhir yang akan dilakukan”. Pertanyaan kemudian muncul, lantas opsi apa yang akan dilakukan oleh pemerintah jika memang BBM tidak dinakkan?. Atau adakah alternatif lain selain menaikkan harga BBM yang dimiliki oleh pemerintah sekarang ini?. Pemerintah memang sudah seharusnya dituntut untuk lebih transparan dalam mengambil sebuah kebijakan publik (public policy), terlebih jika kebijakan tersebut dipandang akan sangat merugikan masyarakat luas. Selama ini, pemerintah terkesan hanya menawarkan solusi yang tidak menyentuh akar persaolan, semisal ; kampanye penghematan energi, konversi energy minyak ke gas, atau bahkan himbauan terhadap para pejabat untuk hidup lebih sederhana. Akan tetapi, mengingat kompleksnya persoalan minyak ini, pemerintah seharusnya menyiapkan suatu kebijakan ekonomi dan politik kongkrit yang tidak merugikan masyarakat. Beberapa alternatif solusi yang sebenarnya bisa dilakukan oleh pemerintah adalah; Pertama, pembatasan anggaran pejabat Negara dalam belanja rutin APBN semisal anggaran perjalanan dinas keluar negeri, permahan, hingga fasilitas anggota DPR/DPD dan pejabat eksekutif yang tidak penting lainnya. Termasuk upaya untuk memotong gaji para pejabat mulai dari tingkat pusat hingga daerah, jika perlu gaji tersebut harus mengacu pada upah minimum yanga ada. Hal ini juga dilakukan oleh Negara-negara pro-rakyat seperti Venezuela, Kuba, Iran dll. Disamping itu, pemotongan gaji penjabat ini, juga akan secara langsung memberikan pelajaran bagi para pejabat untuk tutur serta untuk ikut merasakan penderitaan rakyat. Kedua, pengambil alihan perusahaan-perusahaan minyak dan gas (migas) Negara yang selama ini telah dikuasai oleh pihak asing. Seperti yang kita ketahui bahwa pemberitaan selama ini selalu menuding tingkat produksi minyak kita sebagai biang keladi kenaikan harga minyak dalam negeri. Sebenarnya, tingkat produksi kita tidak menurun, namun perusahaan asinglah (TNC/MNC) yang banyak menyerap kekayaan minyak kita ketimbang Negara kita sendiri. Ketiga, penghapusan hutang Negara yang dinilai terlalu banyak memakan budget APBN.

Jika pemerintah tetap tak bergeming untuk menaikkan harga BBM dalam negeri, maka sekali lagi rakyat-lah yang akan menjadi korban. Rakyat-lah yang akan menanggung bebab ekonomi yang kian hari kian sulit. Sudah bisa dipastikan tanpa harus diperdebatkan lagi, bahwa jika harga BBM naik, maka yang akan terjadi adalah, orang miskin akan semakin miskin, dan orang kaya akan semakin diuntungkan. Maka pilihan rakyat untuk mengorganisir diri demi menolak rencana kenaikan BBM ini, adalah hal yang wajar dan memang harus dilakukan.

Kenaikan BBM ; Opsi terakhir atau satu-satunya pilihan?

Selasa, 06 Mei 2008

"BBM naik tinggi, susu tak terbeli, Orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi". (Iwan Fals-Galang Rambu Anarki)

Belakangan ini, pemerintahan SBY-JK telah mulai melakukan sosialisasi terbuka diberbagai media cetak maupun elektronik tentang rencana untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam waktu dekat ini. Rencana ini sendiri dipicu oleh tingkat harga minyak mentah dunia yang sekarang sudah menembus angka 117 dollar perbarel-nya, sementara patokan harga minyak dalam asumsi APBN tahun 2008 ini, masih dipatok sebesar 95 Dollar. Persoalan ini memang telah menjadi perhatian serius dari pemerintah sejak gejolak ekonomi dunia memasuki masa-masa krisis yang bisa dikatakan mendekati titik akut (coolaps), terutama disektor energi khususnya minyak. Tinggal bagaimana kemudian pemerintah melakukan antisipasi, yang tentunya dengan satu harapan, bahwa dampak dan akibat-nya tidak merugikan masyarakat kita.

Yang patut kita cermati adalah, sepintas pemerintahan terdengar berupaya untuk meyakinkan masyarakat bahwa’ “Kenaikan harga BBM merupakan opsi terakhir yang akan dilakukan“. Pertanyaan kemudian muncul, lantas opsi apa yang akan dilakukan oleh pemerintah jika memang BBM tidak dinakkan?. Atau adakah alternatif lain selain menaikkan harga BBM yang dimiliki oleh pemerintah sekarang ini?. Pemerintah memang sudah seharusnya dituntut untuk lebih transparan dalam mengambil sebuah kebijakan publik (public policy), terlebih jika kebijakan tersebut dipandang akan sangat merugikan masyarakat luas. Selama ini, pemerintah terkesan hanya menawarkan solusi yang tidak menyentuh akar persaolan, semisal ; kampanye penghematan energi, konversi energy minyak ke gas, atau bahkan himbauan terhadap para pejabat untuk hidup lebih sederhana. Akan tetapi, mengingat kompleksnya persoalan minyak ini, pemerintah seharusnya menyiapkan suatu kebijakan ekonomi dan politik kongkrit yang tidak merugikan masyarakat. Beberapa alternatif solusi yang sempat berkembang ditengah masyarakat antara lain ; pembatasan anggaran pejabat Negara dalam belanja rutin APBN semisal anggaran perjalanan dinas keluar negeri, permahan, hingga fasilitas anggota DPR/DPD dan pejabat eksekutif yang tidak penting lainnya, penghapusan hutang Negara yang dinilai terlalu banyak memakan budget APBN, pengenaan pajak progresif terhadap kaum berpunya, atau bahkan upaya untuk melakukan nasionalisasi (pengambilalihan, peninjauan kontrak karya kembali, reposisi saham yang harus lebih dominan dll) perusahaan modal asing yang selama ini justru banyak mengeruk keuntungan dibanding Negara kita sendiri. Namun pemerintah tidak serius untuk mengkaji lebih jauh tentang solusi-solusi tersebut. Bias dikatakan bahwa opsi untuk menaikkan harga BBM, sudah merupakan satu-satunya opsi dari pemerintah. Tinggal menunggu kapan waktu dan saat yang tepat untuk melakukannya. Ini menandakan bahwa pemerintah teramat passif dalam mencari solusi alternatif yang tentu saja sifatnya lebih mampu menjaga stabilitas ekonomi, terutama beban hidup masyarakat yang susah semakin susah. Bahkan kompensasi yang ditawarkan pemerintah akibat kenikan harga BBM ini, tidak lebih dari suatu upaya yang sifatnya sementara dan tidak akan mampu menjawab problem pokok masyarakat miskin Indonesia.

Dan dapat dipastikan, bahwa dengan kenaikan harga BBM ini, sekali lagi rakyat-lah yang akan menanggung beban. Lonjatan harga barang-barang kebutuhan pokok dipasaran akan semakin naik secara drastis, inflasi akan semakin tinggi semntara daya beli masyarakat akan semakin menurun (excess suplay), dan industri domestik-pun akan semakin kesulitan yang berujung kepada kebijakan efisiensi perusahaan yang tentu saja berkibat PHK terhadap pekerja, tingkat pengangguran dan kemiskinan-pun dipastikan akan semakin membengkak.

*Penulis adalah anggota PRP Komite Kota Persiapan Samarinda.

Kenaikan Harga Minyak Dunia ; Keuntungan atau Kerugian ?

Selasa, 30 Oktober 2007

(Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di koran harian Tribun Kaltim)

"Disaat harga minyak mentah dunia melonjak naik, apakah negara kita akan menuai hasil dan keuntungan? Seharusnya, iya! Sebab Negara kita, adalah Negara penghasil dan peng-ekspor minyak dunia. Tapi mengapa kita justru rugi dan tak berkutik manakala harga minyak dunia melambung naik? Sungguh aneh bijn ajaib!".

Indonesia pernah mengalami masa keemasan pada tingkat produktivitas hasil minyak pada era tahun 80-an. Era ini juga sering kita sebut sebagai “zaman bonanza minyak”, yang belakangan hari memunculkan orang kaya-orang kaya baru di Negara kita. Indonesia yang pada saat itu menjadi salah satu negara penghasil minyak dunia, mampu menikmati keuntungan secara maksimal ketika terjadi gejolak kenaikan harga minyak mentah dunia. Walhasil, Indonesia-pun memanen harga dari hasil produksi minyak nasional kita. Namun seiring dengan waktu, zaman keemasan ini telah berakhir, dan kini yang tertinggal hanya cerita usang yang sama sekali tak patut kita banggakan.

Kenyataan ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang, dimana disaat harga minyak dunia melambung naik, Negara kita justru berada dalam posisi kepanikan yang sungguh luar biasa. Berbagai macam carapun dilakukan untuk mengantisipasi, dimulai dari penyesuaian tarif harga minyak nasional melalui pengurangan sampai pencabutan subsidi social (BBM, TDL, Listrik, Telpon dll), perombakan APBN melalui penetapan APBN Perubahan, hingga program konversi energy-pun kini giat dilakukan oleh pemerintah demi mengatasi krisis minyak ini. Sungguh sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan bagi sebuah Negara yang hinga saat ini masih terdaftar sebagai salah satu produsen minyak dunia yang tergabung dalam OPEC.

Lebih parahnya lagi, Negara kita telah mengalami presentase angka ekspor-impor minyak yang sudah hampir sebanding. Kenaikan harga minyak mentah dunia, tentu akan memicu tingkat pengeluaran Negara untuk menutupi angka impor minyak yang dilakukan. Akibatnya kemudian, defisit keuangan negara serta krisis nasional dalam bentuk inflasi dan ketidakstabilan harga-harga domestik terutama komoditas bahan pokok, akan semakin membebani Negara dan terutama masyarakat kita.

Harga minyak mentah dunia, yang hingga saat ini telah menembus kisaran angka tertinggi, yakni 83,32 dollar per barel-nya (angka ini diperkirakan akan terus melonjak naik), tidak bisa dipungkiri, telah menimbulkan kegoncangan ekonomi diseluruh belahan dunia, termasuk Indonesia sendiri (Sumber;Tribun Kaltim, 22 Sepetmber 2007). Sebenarnya apa yang mengakibatkan semakin melambung tingginya harga minyak dunia? Apakah betul cadangan minyak dunia yang semakin menipis, ataukan ada variable lain yang memicu kenaikan harga minyak secara drastis tersebut?

1. Krisis Ekonomi Negara-negara Maju

Lonjakan harga minyak dunia dalam kurun waktu 1 (satu) dasawarsa belakangan ini, memang sangat mencengangkan. Salah faktor penyebabnya adalah, ketidakstabilan ekonomi yang terjadi dinegara-negara maju yang notabene merupakan induk perputaran roda industry dan perdagangan dunia. Terjadinya krisis dan skandal keuangan dibeberapa perusahaan-perusahaan besar di Amerika seperti, Enron (perusahaan listrik terbesar ke-2), Xerox (perusahaan industry penghasil mesin cetak terbesar), Inclome (perusahaan farmasi) dll, jelas menjadi pertanda kuat, bahwa telah terjadi colaps ekonomi di Negara tersebut. Hal ini berarti, akan meledaknya krisis ekonomi secara global dengan menimbulkan “efek domain” kepada Negara-negara lainnya.

Salah satu fakta, bahwa krisis dinegara-negara maju, terutama Amerika tengah berlangsung, adalah dikeluarkannya kebijakan ekonomi-politik represif. Tengok saja bagimana Amerika begiru agresif memberlakukan kebijakan standar ganda dengan mengambil langkah politik militer terhadap beberapa Negara. Invasi dan perang di Afganistan dan Irak, merupakan bukti nyata ambisi Amerika dan sekutunya untuk menguasai perekonomian dunia dengan kedok dan topeng “terorisme”. Atas nama keamanan, alasan terorisme-pun dijadikan alat untuk menekan, menguasai dan menjarah negeri lain. Lebih lucunya lagi, Negara-negara yang lain-pun termakan dengan jargon dan kampanye terorisme tersebut. Latar belakang apa yang menyebabkan kebijakan invasi dan perang ini?. Krisis perusahaan-perusahaan besar dinegara-negara maju terutama Amerika, tentu membutuhkan lahan pasar yang baru untuk menjaga intensitas pemasaran produksinya kembali. Pembenaran strategi ini adalah ; semakin banyak peperangan yang diciptakan, maka semakin banyak pula peralatan tempur yang dibutuhkan. Hal ini sama persis dengan pandangan sempit yang mengatakan bahwa, “obat tidak akan pernah berguna jika tak ada orang sakit, maka strategi menciptakan kesakitan dimana-mana harus senantiasa diciptakan guna membuat obat itu laris dan terpakai”. Begitu pula strategi yang dilakukan oleh Negara-negara maju. Semakin banyak perang dan penderitaan yang diakibatkan, maka semakin laris pasaran industri senjata, farmasi, teknologi dll dari Negara-negara tersebut.

2. Ketidakstabilan Politik dinegara-negara penghasil minyak

Kenaikan harga minyak mentah dunia, tentu merupakan perkara yang rumit dan berat. Mengapa tidak, hal ini akan semakin mengakibatkan kegoncangan ekonomi (Economic shock) bagi lalu lintas perdagangan dunia. Faktor lain penyebab melambungnya harga minyak dunia adalah ketidakstabilan politik di Negara-negara pengahasil minyak, terutama di daratan timur tengah. Hal ini juga diakibatkan oleh agresi militer serta tekanan politik dari Negara-negara maju yang dipelopiri oleh Negara adidaya, Amerika Serikat. Belum habis cerita soal Afganistan dan Irak yang hingga saat ini terus mengalami krisis politik, kini mata dunia dipertontonkan perseteruan antara Amerika dan Iran soal nuklir yang tak habis-habisnya. Belum lagi upaya Amerika untuk terus menekan Venezuela (Negara penghasil minyak terbesar keempat dunia) dengan upaya menggungcang pemerintahan Chavez hingga kini, yang secara tegas menolak kebijakan ekonomi pasar bebas Amerika. Ketidakstabilan politik dari Negara-negara penghasil minyak dunia inilah salah satu penyebab mengapa harga minyak dunia terus melambung tinggi tak terkendali.

3. Faktor Musim & Aksi Borong Minyak dari Negara-negara Industri Baru.

Penyebab lain dari tingginya harga minyak dunia adalah faktor musim dingin yang terjadi di benua amerika dan eropa. Pergantian musim ini tentunya akan memaksa Negara-negara tersebut untuk menambah cadangan persedian minyaknya untuk menghadapi musim dingin yang kemungkinan akan berlangsung lama. Faktanya, Amerika saja merupakan Negara terbesar yang menguasai hampir 50 % pemakaian minyak dunia. Ditambah lagi badai yang terus menyerang Teluk Meksiko beberapa tahun belakangan ini.

Disamping itu, kenaikan harga minyak dunia juga dipicu oleh aksi borong dan mopopoli transasksi pembelian yang dilakukan oleh Negara-negara industri yang berkembang pesat seperti Cina dan india. Hal tersebut menimbulkan ketidakseimbangan distribusi minyak secara merata. Arus Minyak-pun menjadi milik Negara-negara maju ini secara dominan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Seperti yang telah saya sebutkan dari awal, bahwa Indonesia, meski merupakan Negara peng-ekspor minyak, namun kita justru rugi dan tak berkutik manakala harga minyak dunia melambung naik. Kenapa demikian?. Pertama, bahwa tingkat produksi minyak dalam negeri kita, memang semakin meurun. Penurunan ini bukan karena cadangan minyak Negara kita yang semakin menepis, seperti pembenaran yang dilakukan oleh beberapa pakar. Penurunan yang terjadi, adalah akibat semakin disingkirkannya peran perusahaan Negara (Baca;PERTAMINA) dalam mengelola asset minyak nasional kita. Hal ini Nampak nyata melalui legalisasi peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah, melalui Undang-undang Migas No.22 Tahun 2001. Undang-undang tersebut telah memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi Corporate swasta/asing untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, hingga perdagangan minyak secara terbuka. Jikalau dulu, pihak corporate swasta/asing hanya diperbolehkan berada dalam jalur aktivitas sector hulu perminyakan kita, maka sejak ditetapkannya UU Migas tersebut, maka sector hilir telah diperbolehkan dikelola oleh perusahaan diluar PERTAMINA. Dan ini semua akibat ketegasan pemerintah untuk menjaga dan merawat asset minyak nasional kita dengan baik.

Dengan melihat kondisi tersebut di atas, maka adalah hal yang tak mengherankan jika tingkat produksi serta nilai volume ekspor minyak kita semakin menurun. PERTAMINA bukan lagi perusahaan tunggal yang mengelola asset minyak nasional kita, namun dominasi corporate asing/swasta kini menjadi ancaman bagi Negara kita. Kalau demikian adanya, memang kita tidak akan menikmati apa-apa ketika harga minyak dunia meningkat.