“Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini”. (Article 7, Universal Declaration Of Human Rights).
Kewajiban Internasional Indonesia
Dalam “International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)” yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, dijelaskan bahwa setiap orang yang berada dalam posisi dituntut secara pidana, maka kepadanya melekat hak minimum dalam persamaan yang penuh. Salah satu hak minimum tersebut adalah hak bantuan hukum sebagaimana ditegaskan pada Pasal 14 Ayat (3) huruf (d) sebagai berikut :
“To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing; to be informed, if he does not have legal assistance, of this right; and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interests of justice so require, and without payment by him in any such case if he does not have sufficient means to pay for it”[1].
(Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya)[2].
Konsekuensi logis dari ratifikasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah terhadap kovenan internasional ICCPR ini, tentu mewajibkan hak bantuan hokum sebagai hal yang patut diberikan secara penuh tanpa pengecualian kepada masyarakat. Pemerintah sebagai stuktur kerja pelaksana Negara, memiliki relasi yang kuat untuk memenuhi kebutuhan dasar warga Negara tersebut. Untuk itu, adalah penting untuk melakukan upaya refleksi menyangkut sejauh mana dan kontribusi kongkrit seperti apa yang telah dijalankan Negara terhadap warga Negaranya saat ini.
Hilangnya Tanggung Jawab Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, adalah produk hukum Pemerintah yang diharapkan dapat mempermudah akses bantuan hokum bagi masyarakat miskin. Tapi benarkan substansi PP ini adalah cerminan terpenuhinya tanggung jawab Negara terhadap masyarakat? Tidak sama sekali. PP No. 83 tersebut secara implicit hanya menegaskan kembali kewajiban advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada para pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomi. Organisasi advokat dan lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada, dibebani tanggung jawab untuk membentuk unit kerja khusus yang diharapkan dapat mengurusi bantuan hukum cuma-Cuma ini.
Namun pertanyaan kemudian muncul. “lantas dimana peran Pemerintah dalam memenuhi hak dasar bantuan hukum ini?”. Jika situasinya demikian, maka dapat disimpulkan bbbahwa Pemerintah seolah telah lepas tangan dari tanggung jawab tersebut. Padahal, jika kita merujuk pada konstitusi dasar Negara, maka yang paling utama berkewajiban untuk menjamin hak pencari keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu, adalah negara, dalam hal ini Pemerintah. Dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Disinilah kejanggalan muncul, dimana Negara dianggap lepas tanggung jawab terhadap hak dasar bantuan hokum bagi masyarakat. Keberadaan PP No. 83 Tahun 2008, hanya mengatur secara teknis dan cenderung hanya membebankan kepada advokat semata.
Akses Bantuan Hukum Disetiap Proses Hukum
Bantuan hukum, khususnya bagi masyarakat miskin (poor people), merupakan hak dasar yang tidak boleh dibeda-bedakan, baik menyangkut objek pemberian bantuan hukum, maupun objek perkara yang dihadapi oleh masyarakat dari setiap tingkatan proses hukum. Namun ketentuan hukum yang ada, hanya mendefinisikan bantuan hukum berdasarkan kadar atau takaran tertentu saja. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara pidana (KUHAP) Pasal 56 ayat (1), menyebutkan bahwa, ”Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”[3].
.
Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin, sangat terbatas hanya berdasarkan atas berat ringannya hukuman (the severity of penalty) dan atau kemampuan keuangan (financial) dari terdakwa/tersangka. Lantas bagaimana dengan proses hukum diluar pengadilan? Apakah masyarakat tidak memiliki akses bantuan hukum, hanya karena terbentur dasar yang termuat dalam KUHAP tersebut?. Jika benar demikian adanya, maka KUHAP hanya menyempitkan akses masyarakat miskin terhadap hak bantuan hukum yang telah dijamin oleh konstitusi kita. Bantuan hukum, seharusnya mampu diterapkan pada setiap tingkatan atau proses hukum, baik di luar maupun di dalam pengadilan. dengan demikian maka akses keadilan dan hak atas bantuan hukum, khususnya masyarakat miskin, lebih terjamin sesuai dengan amanah konstitusi dasar Negara kita.
(Bersambung)
[1] Pasal 14 Ayat (3) huruf (d) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
[2] Terjemahan bebas penulis…..
[3] Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
jag hanya kata2 untuk mewujudkan bantuan hukum tp kenyatan skarang tidak ad
Posting Komentar
Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!