Melimpah SDA Melimpah Masalah : Potret Industri Ekstraktif di Kaltim

Selasa, 02 Februari 2010

Provinsi Kalimantan Timur merupakan, salah satu provinsi di Kalimantan yang kaya dengan Sumber Daya Alam. Industri ekstraktif tumbuh bak cendawan dimusim hujan di provinsi ini terutama pasca kran otonomi daerah dibuka tahun 2002. Selain Migas, Emas dan Kayu, sektor industri ekstraktif lainnya yaitu Pertambangan Batu Bara menjadi primadona guna memenuhi pundi-pundi PAD dan PDB Nasional.

Secara Administratif Provinsi Kalimantan Timur memiliki 14 kab/kota dengan jumlah penduduk 3.024.800 jiwa, jumlah penduduk miskinnya mencapai 324,000 jiwa atau 10,66%. Salah satu Kabupatennya, yaitu Kutai kertanegara selanjutnya disebut--Kukar, APBD-nya mencapai--kurang lebih--5,5 Trilyun rata-rata pertahunnya, jika dilakukan perbandingan, maka jumlahnya APBD hanya sebuah Kabupaten ini setara dengan jumlah APBD sebuah provinsi yaitu jumlah APBD Provinsi Jawa Tengah.

Namun jumlah APBD sebesar itu tak berkorelasi positif yaitu dengan menurunnya jumlah Penduduk Miskinnya, sebaliknya jumlah penduduk miskin di kabupaten ini tinggi, kukar menjadi salah satu lumbung kemiskinan di Kalimantan Timur, yakni 54.836 jiwa dari jumlah penduduk 518.722. Padahal Kukar—dalam kasus konsesi tambang batu bara, di kabupaten ini terdapat 867 ijin KP, itu artinya, hampir separuh dari jumlah Konsesi KP (Kuasa Pertambangan) yang ada di Kaltim yakni 1.180 KP justru terdapat di Kabupaten ini, Kukar kini lebih cocok dijuluki “kota tambang”, setelah selama ini dikenal berjuluk kota Raja.

Kabupaten lain di Kaltim, yakni Kabupaten Kutai Barat—biasa disebut KUBAR, kabupaten ini pernah menjadi Penghasil Emas terbesar di Kaltim dengan jumlah produksi mencapai 14 ton emas per-tahunnya. Namun seakan bernasib serupa dengan Kukar, jumlah penduduk miskinnya juga menggelembung, mencapai 51.267 jiwa dari jumlah penduduk Kubar 157.847 jiwa.

Lain lagi dengan Kabupaten Kutai Timur—Kutim. Jumlah penduduknya sebanyak 203.156 jiwa, sedangkan jumlah penduduk miskin mencapai 98.025 jiwa atau 48,25%, itu artinya nyaris separuh penduduk Kutim, adalah penduduk miskin!, dan masyarakat miskin tersebut justru berada disekitar tambang yang terkonsentrasi di 3 kecamatan yang selama ini menjadi kantung pertambangan yakni Sengata Selatan, Rantau Pulung dan Bengalon yang berjumlah 73.981 jiwa (45,69%) dari 203.156 jiwa, total penduduk Kutim.
Dari ini semua, bisa disimpulkan pula industri pertambangan tidak berimplikasi apa-apa bagi kesejahteraan dan tidak berefek bagi peningkatan derajat ekonomi rakyat.
Menurut presentasi Gubernur Kalimantan Timur pada medio februari 2009 di hadapan Menteri ESDM, Produksi Batu Bara Kalimantan Timur mencapai 93,0 Juta ton atau 68,5% dari total produksi batu bara nasional. Pada sektor lain, Produksi Gas Bumi Kaltim mencapai 1,98 TSCF atau 37,0 % dari total produksi Gas Bumi Nasional, sedangkan Produksi Minyak Bumi Kaltim mencapai 57,0 MMSTB atau 6,1 % dari Total Produksi Nasional.

Kita Melayani Siapa

Pertanyaan yang perlu dikemukakan pula dari semua fakta ini adalah “ untuk siapa sebenarnya energy dan indutri ekstraktif tersebut selama ini? Kita melayani siapa?”. Bayangkan dari 58 % dari total produksi gas bumi dan 70 % dari produksi batu bara di ekspor ke luar negeri. Contoh kasusnya misalnya adalah Kasus Kaltim Prima Coal, salah satu industri pertambangan batu bara terbesar, pemegang konsesi PKP2B yang dikeluarkan atas ijin Pemerintah Pusat. KPC dari rilis resminya menyatakan selama ini melayani penjualan ke 35 negara (asia, eropa dan amerika) dan hanya sisa dari itu lalu melayani kepentingan domestik, perdebatan kuota-antikuota pemenuhan kebutuhan domestik ternyata hanya menjadi debat kusir, sementara ekspor terus melenggang tanpa halang-rintang. Sementara itu 90% kebutuhan energi masyarakat indonesia masih bergantung pada energy yang ditunjang oleh BBM dan Batu Bara, maka terjawablah sudah pertanyaan “untuk siapa energy dan batu bara kita selama ini dan kita melayani siapa”.

Jumlah Penerimaan Negara dari sektor ESDM, sebesar 346.347,34*** atau mencapai 36,0 % dari total penerimaan nasional atau kontribusi sektor lainnya. Dari semua angka-angka tersebut, sumbangsih industri ekstraktif Kalimantan timur ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata bagi PDB Nasional, singkatnya kaltim adalah lumbung energy sekaligus—ironisnya—kaltim pula adalah lumbung kemiskinan akibat lalai-nya pemerintah bahkan semua pihak atas aspek tata kelola industri ekstraktif selama ini.

Dalam hal lain, peningkatan pendapatan daerah dari sumberdaya alam ekstraktif, tidak menunjukkan korelasi positif dengan peningkatan pelayanan publik, maupun kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini disebabkan karena terjadi korupsi dan pola belanja pemerintah daerah yang tidak semestinya. Kurangnya transparansi memfasilitasi korupsi. Ketika perusahaan migas dan pertambangan tidak mempublikasikan pembayaran-pembayaran yang mereka lakukan kepada pemerintah, menjadi lebih mudah bagi aparat pemerintah untuk menggelapkan dana-dana itu dan lebih sulit bagi warga negara untuk mendorong akuntabilitas aparat pemerintah.

Sumber Informasi :
  1. BPS Kaltim 2007
  2. Kompas, “48 Persen Rakyat Kutim Miskin”, 27 Agustus 2008
  3. Makalah Presentasi Gubernur Kaltim di hadapan Menteri ESDM, Februari 2009
  4. Laporan Pembangunan Berkelanjutan PT KPC, 2007 
Merah Johansyah IsmalKepala Divisi Lingkungan dan Sumberdaya Alam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kal-tim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!