Bantuan Hukum Adalah Hak Dasar Warga Negara

Rabu, 25 November 2009

“Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini”.

Demikian penegasan hak dasar dan perlakuan hukum yang adil terhadap setiap manusia, yang tertuang dalam Pasal 7 "Universal Declaration Of Human Rights". Konsensus internasional inilah yang kemudia yang menjadi pedoman umum (Universality) di setiap negara. Pada hakekatnya hukum merupakan penceminan dari jiwa dan pikiran rakyat (volkgeist). Konstitusi dasar Negara kita, secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berlandaskan hukum (Rechtstaats). Salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (fundamental rights). Namun situasi dan kondisi Negara kita hari ini, justru semakin menjauhkan masyarakat, terutama masyarakat miskin, dari keadilan hukum (justice of law). Masyarakat miskin, marginal, terpinggirkan dan yang sengaja dipinggirkan, belum mempunyai akses secara maksimal terhadap keadilan.

Sebuah Tinjauan Yuridis Terhadap Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan salah satu hak dasar warga Negara. Hanya yang menjadi permasalahan utama disini adalah, apakah bantuan hokum ini dapat diperoleh dengan mudah (acces to abiality) oleh masyarakat atau tidak, termasuk pada aspek jaminan ekonomisnya. Satu contoh sederhana dapat kita lihat dalam penggunaan jasa advokat sebagai tenaga bantuan hokum formal (legal aid), yang diakui dalam system hokum kita. Begitu banyak mmasyarakat yang enggan menggunakan jasa advokat ini karena dianggap terlalu mahal. Ibarat system pendidikan yang kian mahal hari ini, sehingga akses masyarakat semakin terbatas, demikian pulalah yang terjadi dalam system hokum kita hari ini. Bantuan hokum yang seharusnya menjadi hak dasar warga Negara, justru terasa jauh dari apa yang diamanahkan oleh konstitusi dasar Negara kita.

Didalam Undang-undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28D ayat (1) menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Ini merupakan pijakan dasar dan perintah konstitusi untuk menjamin setiap warga Negara, termasuk orang yang tidak mampu, untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan dengan baik. Posisi dan kedudukan seseorang didepan hokum (the equality of law) ini, menjadi sangat penting dalam mewujudkan tatanan system hokum serta rasa keadilan masyarakat kita.

Pada bagian lain, jaminan atas akses bantuan hokum juga disebutkan secara eksplisit pada Pasal 28G ayat (1), yang menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Hal tersebut semakin dikuatkan pada Pasal 28H ayat (2), yang menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Secara substantive, hal tersebut di atas, dapat kita maknai bahwa jaminan akses keadilan melalui bantuan hokum, adalah perintah tegas dalam konstitusi kita. Dan bantuan hokum yang dipandang sebagai salah satu hak asasi atau dasar setiap orang, tentu harus diberikan secara Cuma-Cuma, seperti halnya dengan hak untuk hidup, hak untuk bekerja, hak untuk memperoleh kesehatan, hak untuk berpendat dan berpikir.

Advokat dan Dilema Bantuan Hukum
Advokat atau pengacara sebagai profesi yang berkaitan langsung dengan bantuan hokum Cuma-Cuma ini, bahkan diperintahkan oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, untuk memberikan bantuan hokum bagi masyarakat yang kurang mampu. Namun yang sangat disayangkan, justru akses ini tidak secara jelas diatur sebagai tanggung jawab Negara. Pasal 22 ayat (1) dalam undang-undang ini meyebutkan secara tegas bahwa, “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Dan kewajiban ini melekat kepada siapapun yang berprofesi sebagai advokat, dimanapun ia berada.

Namun permasalahannya adalah, mainstream utama profesi advokat hari ini justru terjebak dengan logika pasar dan ekonomi. Dimana bantuan hokum tidak lagi mampu ditempatkan sebagai kewajiban, namun tidak lebih dari sebagai sebuah bisnis. Bantuan hokum diperdagangkan sedemikian rupa. Siapa yang menawar lebih tinggi, maka berhak mendapatkan bantuan hokum yang jauh lebih memuaskan disbanding mereka yang bayarannya sedikit. Coba kita bayangkan bagaimana dengan mereka yang tidak mampu?. Jika benar demikian adanya, tentu dibutuhkan suatu upaya tegas dari Negara untuk meberikan jaminan sepenuhnya terhadap bantuan hokum dan akses keadilan bagi masyarakat. Ada beberapa hal yang menajadi catatan penting untuk menjawab permasalah dilem bantuan hokum ini, antara lain :

Pertama, Bahwa untuk mengoptimalkan akses keadilan bagi masyarakat, khususnya hak untuk memperoleh bantuan hukum, memang diperlukan suatu bentuk regulasi yang lebih jelas dan tegas. Meskipun konstitusi telah mengamanahkan hak bantuan hokum ini, namun terjemahan kongkritnya belum tertuang sama sekali dalam perundang-undangan kita. UU advokat maupun UU Kekuasaan Kehakiman menjadi sia-sia jika permasalahan bantuan hokum ini tidak mampu dibuatkan aturan yang lebih implisit. Regulasi tersebut bisa dalam bentuk UU Bantuan Hukum, atau ditingkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, bisa diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Dengan demikian, maka akan dicapai 2 (dua) hal yang penting, Bahwa Negara dan pemerintah betul-betul dapat memenuhi kejaibannya terhadap warga negaranya, dan hal lainnya adalah, bahwa teknis dan tata cara pemberian bantuan hokum dapat tercermin secara kongkrit dan tidak mengambang.

Kedua, Menyambung pada point pertama, bahwa bantuan hokum Cuma-Cuma adalah tanggung jawab Negara terhadap warga negaranya. Untuk itu, jika selama ini beban bantuan hokum hanya diberikan kepada advokat, maka sudah saatnya pola ini dirubah. Dimana advokat hanya menjadi pelaksana teknis pemberian bantuan hokum, namun penanggung jawabnya tetap berada di pemerintah dan lembaga-lembaga dibawahnya. Selama ini, advokat yang menolak pemberian bantuan hokum Cuma-Cuma bagi masyarakat yang kurang mampu, tidak mendapatkan sanksi apa-apa selain dari organisasi advokat yang bersangkutan. Tidak diperoleh sama sekali sanksi tegas terhadap penolakan pemenuhan hak dasar bantuan hokum tersebut.

Ketiga, diperlukan tenaga pendamping bantuan hokum, diluar profesi advokat yang sudah ada. Tenaga pendamping ini bisa diwujudkan dalam bentuk “Paralegal”, atau mereka yang memiliki kecakapan khusus dibidang hokum dan dapat mendampingi masyarakat yang membutuhkan, dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat kita. Kita harus mendorong keberadaan pemahaman bahwa permasalahan bantuan hokum tidak hanya dimonopoli oleh advokat semata. Hal ini sejalan dengan putusan mahakamah konstitusi yang mencabut klausul yang tertuang pada 31 Ungdang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat yang berbunyi : “setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Keputusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut merupakan putusan yang bersifat hokum tetap serta pertama dan yang terakhir (the first and the last), oleh karenanya semua pihak harus harus menghotmati keputusan tersebut.

(Bersambung)

3 komentar:

Rezky Pratama mengatakan...

pertama kayaknya

Edit foto n video mengatakan...

Bener tu...zaman sekarang tidak ada yg gratis (kencing aja bayar...kata mereka), lalu kemana (org miskin) hrs mencari keadilan..bila semua pengacara menerapkan sistem "perdagangan". Pemakai narkoba (bukan penjual) dihukum 3 taon penjara, sedangkan koruptor...bisa tidak sampai 2 taon...Sebenarnya yg dihukum berat seharusnya Penjualnya kan..???? karena dia yg merusak anak bangsa.

Zoom Magazine mengatakan...

@Resky : Jgn2 pertama dan terakhir rez?wkwwkkkkk.....maklum, jarang di update sih nih blog....fiuhh....

@Adidolok : Bener banget adi, mainstream advokat sekarang memang cenderung lebih ke profit oriented....makna dan esensi keadilan-pun hilang. Untuk itu, diperlukan orang2 yang sadar untuk mencoba membalik keadaan ini. Akses terhadap bantuan hukum bagi masyarakat miskin harus kita perjuangkan dengan medan dan cara apapun, bahkan ketika harus berhadapan dengan kekuasaan sekalipun......

Posting Komentar

Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!