Kenaikan harga BBM ; Solusi yang tidak solutif!

Jumat, 30 Mei 2008

(Upaya Untuk Membongkar Kebohongan Publik)

Judul diatas tentu membuat makna tersirat akan arti penting suatu komoditas energi dasar yang kita sebut Bahan Bakar Minyak (BBM). Indonesia sendiri merupakan salah satu Negara pengekspor minyak dunia, yang tergabung dalam OPEC. Pada era tahun 80-an, bahkan Indonesia mendapatkan berkah yang sangat melimpah ketika tingkat harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan . Namun sekarang, siapa yang menyangka bahwa justru Negara kita termasuk salah satu dari sekian banyak Negara yang paling panik dan gelisah dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Hingga hingga detik ini, kisaran harga minyak mentah dunia telah mencapai angka US $ 120/barel atau sekitar Rp. 1.116.000,-/barel atau Rp. 7018,-/liter .

Logika-nya, sebagai Negara penghasil dan pengekspor minyak, seharusnya Negara kita mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan kenaikan harga minyak mentah dunia ini. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Negara kita justru defisit. Jadi sekalipun Bangsa Indonesia memiliki sedikitnya 329 Blok/Sumber Migas dengan lahan seluas 95 juta hektar (separuh luas daratan Indonesia) dengan cadangan minyak yang diperkirakan mencapai 250 sampai dengan 300 miliar barel (hampir setara dengan Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar di dunia saat ini) dengan total produksi minyak mentah hari ini mencapai 1 juta barel per hari atau 159 juta liter per hari, tetap tidak bermanfaat bagi kehidupan Rakyat Indonesia, jika masyarakat dipaksa untuk membeli mahal asset alam kita sendiri.

Kebijakan yang Irasional
Kenaikan harga minyak mentah dunia, menuntut Pemerintah untuk buru-buru mengkampanyekan situasi ini yang dianggap membahayakan anggaran Negara jika tidak diantisipasi secepat mungkin. Asumsi pemerintah mengatakan bahwa, semakin melonjaknya harga minyak mentah dunia tersebut, akan menyebabkan kenaikan subsidi dalam negeri sebesar 21,4 trilyun rupiah, sementara negara tidak mempunyai anggaran, sehingga mau tidak mau, harga BBM dalam negeri harus di naikan sesuai dengan harga BBM Internasional. Dewasa ini, pemerintah sering melontarkan pernyataan sebagai upaya pembenaran tindakan untuk menaikkan harga BBM ini. Namun apakah pernyataan tersebut sesuai dengan fakta, atau justru menjadi sebuah bentuk kebohongan terhadap masyarakat. Mari kita lihat satu persatu. Pertama, pemerintah selalu mengatakan bahwa harga BBM Indonesia adalah yang termurah dibandingkan Negara-negara lain. Kenyataannya di Venezuela, harga bensin hanya seharga Rp. 460,-/liter, di Turkmenistan hanya sekitar Rp. 736,-/liter, Iran sebesar Rp. 825,-/liter, dan Nigeria hanya Rp. 920,-/liter . Bandingkan dengan harga bensin dalam negeri kita yang mencapai Rp. 4.500,-/liter, tentu sangat tidak realistis bagi sebuah Negara pengekspor minyak seperti Indonesia, yang seharusnya mampu mneyediakan layanan harga BBM yang lebih murah bagi masyaratnya. Pada sisi yang lain, pernyataan bahwa harga minyak kita adalah yang paling murah juga terbantahkan dengan tingkat harga Pertamax Negara kita sebesar Rp 8.700/liter yang lebih mahal daripada harga bensin di AS (importir minyak terbesar) yang hanya Rp 8.464/liter. Padahal penghasilan rakyat AS sekitar US$ 37 ribu per tahun sementara Indonesia cuma US$ 810/tahun . Tentu kondisi ini tidak bisa dijadikan tolak ukur sama sekali, sebab tingkat pendapatan penduduk perkapita, juga turut menentukan harga jual minyak suatu Negara. Kedua, pemerintah selalu mengasumsikan kenaikan harga minyak dunia, sebagai ancaman terhadap angaran Negara dalam APBN, terutama menyangkut pembengkakan anggaran untuk subsidi sector publik (baca ; BBM). Pemerintah berujar bahwa Negara akan menanggung rugi hingga Rp. 123 trilyun per tahun jika harga BBM tidak naik. Padahal kenyataannya pemerintah dengan harga minyak Internasional mencapai US$ 125/barrel tetap untung Rp 165 trilyun per tahun jika manajemennya benar karena impor sebenarnya kurang dari 20% kebutuhan minyak kita. Seperti yang kita ketahui, bahwa kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri kita mencapai 1,2 juta bph, sedangkan produksi minyak kita sekitar 1 juta bph. Jadi yang kita impor sekitar 0,2 juta bph. Hitung-hitungannya, Jika harga minyak Internasional US$ 125/barrel dengan jumlah impor 200 ribu bph, maka pemerintah Indonesia dengan harga minyak Rp 4.500/liter (atau sekitar US$ 77/barol) akan mendapatkan keuntungan sebesar US$ 49,4 juta per hari atau sekitar Rp 165,8 Trilyun dalam setahun (dengan kurs 1US$ = Rp 9.200,-). Jadi, suatu pembohongan publik jika dikatakan Negara kita rugi Rp 123 Trilyun!. Ketiga, pemerintah selalu menuding rakyat-nya sendiri sebagai rakyat yang sangat boros menggunakan BBM. Bahkan kampanye upaya penghematan diberbagai media cetak maupun elektronik, sangat gencar dilakukan. Padahal, jika dibandingkan dengan Negara lain, masalah pemborosan minyak, Indonesia berada dirangking 116 di bawah Negara-negara Afrika seperti Namibia dan Botswana. Keempat, dan ini bagian yang paling menarik, yakni ; pemerintah selalu mengatakan bahwa tingkat subsidi yang tinggi terhadap BBM, hanya akan membantu golongan kaya di Negara kita. Bahkan Wakil presiden, Yusuf Kalla, mengkritik para pendemo anti kenaikan BBM, sebagai kelompok yang memperjuangkan orang kaya. Pertanyaannya kemudian adalah, “apakah mayoritas orang miskin tidak menggunakan BBM?”. Hanya mereka yang tidak tahu keadaan orang miskin yang akan mengatakan tidak!!!. Pengguna BBM justru adalah mayoritas orang miskin, semisal ; supir bus, metromini, mikrolet, supir pengangkut barang, nelayan, tukang ojek dll. Bukankah jika BBM naik, mereka yang akan dirugikan?. Bukankah jika BBM naik, maka harga kebutuhan pokok, produksi barang, dll juga akan menyesuaikan harga, siapa yang akan rugi kalo bukan orang miskin. Bukankah jika harga BBM naik, maka tarif angkutan umum juga akan ikut naik, dan siapa yang akan dirugikan jika bukan penumpang yang mayoritas adalah mereka yang miskin. Mobil mewah yang beredar dinegara kita hanya sekitar 5 % dari total kendaraan, atau sekitar 10 juta saja. Bandingkan dengan kendaraan seperti motor, angkutan umum dll yang notabene digunakan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Maka dari itu, pernyataan pemerintah yang berdalih jika BBM naik maka akan menyelematkan orang miskin, perlu dipertanyakan, sebab kenaikan BBM justru akan semakin membuat barisan kemiskinan dan pengangguran semakin panjang. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, (Kompas, (7/5), kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa.

Mengapa Harga Minyak Dunia Semakin Mahal.
Pertama, over konsumtif. Dalam artian, tingkat konsumsi minyak yang semakin tinggi oleh Negara-negara maju seperti Amerika yang mencapai 20,59 juta barel per hari, Jepang sebesar 5,22 juta barel per hari, Rusia sebasar 3,10 juta barel per hari, dll. Disamping itu, komsumsi minyak juga semakin meningkat di Negara-negara yang sedang mengalami fase pertumbuhan ekonomi drastis seperti India sebesar 2,53 juta barel per hari maupun Cina sebesar 7,27 juta barel per hari. Ini berarti, total produksi minyak internasional akan lebih banyak diserap dan digunakan oleh Negara-negara tersebut sehinga mengakibatkan distribusi minyak dunia semakin tidak merata. Secara ekonomis, ini menandakan bahwa suplay and demand menjadi tidak seimbang dimana tingkat permintaan minyak jauh lebih tingggi dibandingkan tingkat pewarannya. Gejolak harga minyak dunia-pun menjadi tidak terbendung. Kedua, Ketidakstabilan politik di Negara-negara penghasil minyak. Kenaikan harga minyak mentah dunia, tentu merupakan perkara yang rumit dan berat. Mengapa tidak, hal ini akan semakin mengakibatkan kegoncangan ekonomi (Economic shock) bagi lalu lintas perdagangan dunia. Salah satu penyebabnya adalah ketidakstabilan politik di Negara-negara pengahasil minyak, terutama di daratan timur tengah. Ketidakstabilan politk ini tentu akan mengahambat maksimalisasi produksi minyak dinegara-negara penghasil minyak, sehingga tidak secara total mampu untuk menutupi tingkat konsumsi minyak dunia. Ketidakstabilan politik ini diakibatkan oleh agresi militer serta tekanan politik dari Negara-negara maju yang dipelopiri oleh Negara adidaya, Amerika Serikat. Bayangkan saja, belum habis cerita soal Afganistan dan Irak yang hingga saat ini terus mengalami krisis politik, kini mata dunia dipertontonkan perseteruan antara Amerika dan Iran soal nuklir yang tak habis-habisnya. Belum lagi upaya Amerika untuk terus menekan Venezuela (Negara penghasil minyak terbesar keempat dunia) dengan upaya menggungcang pemerintahan Chavez hingga kini, yang secara tegas menolak kebijakan ekonomi pasar bebas Amerika. Ketidakstabilan politik dari Negara-negara penghasil minyak dunia inilah salah satu penyebab mengapa harga minyak dunia terus melambung tinggi tak terkendali .

Kenaikan BBM ; opsi terakhir ataukah satu-satunya pilihan?
Yang patut kita cermati adalah, sepintas pemerintahan terdengar berupaya untuk meyakinkan masyarakat bahwa’ “Kenaikan harga BBM merupakan opsi terakhir yang akan dilakukan”. Pertanyaan kemudian muncul, lantas opsi apa yang akan dilakukan oleh pemerintah jika memang BBM tidak dinakkan?. Atau adakah alternatif lain selain menaikkan harga BBM yang dimiliki oleh pemerintah sekarang ini?. Pemerintah memang sudah seharusnya dituntut untuk lebih transparan dalam mengambil sebuah kebijakan publik (public policy), terlebih jika kebijakan tersebut dipandang akan sangat merugikan masyarakat luas. Selama ini, pemerintah terkesan hanya menawarkan solusi yang tidak menyentuh akar persaolan, semisal ; kampanye penghematan energi, konversi energy minyak ke gas, atau bahkan himbauan terhadap para pejabat untuk hidup lebih sederhana. Akan tetapi, mengingat kompleksnya persoalan minyak ini, pemerintah seharusnya menyiapkan suatu kebijakan ekonomi dan politik kongkrit yang tidak merugikan masyarakat. Beberapa alternatif solusi yang sebenarnya bisa dilakukan oleh pemerintah adalah; Pertama, pembatasan anggaran pejabat Negara dalam belanja rutin APBN semisal anggaran perjalanan dinas keluar negeri, permahan, hingga fasilitas anggota DPR/DPD dan pejabat eksekutif yang tidak penting lainnya. Termasuk upaya untuk memotong gaji para pejabat mulai dari tingkat pusat hingga daerah, jika perlu gaji tersebut harus mengacu pada upah minimum yanga ada. Hal ini juga dilakukan oleh Negara-negara pro-rakyat seperti Venezuela, Kuba, Iran dll. Disamping itu, pemotongan gaji penjabat ini, juga akan secara langsung memberikan pelajaran bagi para pejabat untuk tutur serta untuk ikut merasakan penderitaan rakyat. Kedua, pengambil alihan perusahaan-perusahaan minyak dan gas (migas) Negara yang selama ini telah dikuasai oleh pihak asing. Seperti yang kita ketahui bahwa pemberitaan selama ini selalu menuding tingkat produksi minyak kita sebagai biang keladi kenaikan harga minyak dalam negeri. Sebenarnya, tingkat produksi kita tidak menurun, namun perusahaan asinglah (TNC/MNC) yang banyak menyerap kekayaan minyak kita ketimbang Negara kita sendiri. Ketiga, penghapusan hutang Negara yang dinilai terlalu banyak memakan budget APBN.

Jika pemerintah tetap tak bergeming untuk menaikkan harga BBM dalam negeri, maka sekali lagi rakyat-lah yang akan menjadi korban. Rakyat-lah yang akan menanggung bebab ekonomi yang kian hari kian sulit. Sudah bisa dipastikan tanpa harus diperdebatkan lagi, bahwa jika harga BBM naik, maka yang akan terjadi adalah, orang miskin akan semakin miskin, dan orang kaya akan semakin diuntungkan. Maka pilihan rakyat untuk mengorganisir diri demi menolak rencana kenaikan BBM ini, adalah hal yang wajar dan memang harus dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk berkunjung di BLOG saya yang katro ini. Biasakanlah berkomentar setelah Anda membaca artikel. But No Spam, No Porn....OK Bro!!!